Sebuah laporan mengindikasikan adanya peningkatan pelecehan seksual terhadap perempuan Irak setelah invasi pimpinan AS di negara itu pada tahun 2003, mengatakan perdagangan perempuan telah menjadi bisnis yang berkembang.
Dalam artikelnya, yang diterbitkan oleh lembaga Inter Press Service (IPS) pada tanggal 27 Agustus, Rebecca Murray mencatat bagaimana prostitusi dan perdagangan seks telah menjadi "epidemi di Irak" selama pendudukan pasca-invasi militer ke negara itu oleh pasukan pimpinan Amerika.
Dalam delapan tahun terakhir, negara ini telah menyaksikan kekerasan tanpa henti dan serangan teror mematikan yang menghancurkan lembaga-lembaga nasional, penduduk miskin dan tercabik-cabiknya keluarga dan lingkungan.
"Perang dan konflik, dimanapun hal itu terjadi, selalu membawa ke tingkat yang tinggi terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan," kata Murray mengutip pernyataan Amnesti Internasional.
Artikel ini bercerita tentang Rania, berusia 16 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual para pejabat Irak.
Rania kemudian melarikan diri ke Baghdad dan berakhir sebagai wakil seorang pedagang seks setelah tinggal dan bekerja di rumah bordil Baghdad untuk sementara waktu.
Dia menjelaskan bisnis perdagangan perempuan sangat menguntungkan di Irak, mengatakan banyak gadis remaja perawan yang dijual sekitar 5.000 dolar, dan diperdagangkan ke Irak utara, Suriah dan Uni Emirat Arab.
Setelah ditangkap enam tahun lalu oleh pasukan AS atas tuduhan bersekongkol dalam aktivitas terorisme, Rania dikirim ke penjara di al-Kadimiyah Baghdad dan akhirnya berakhir sebagai seorang peneliti yang menyamar untuk kelompok dukungan wanita di penjara.
Dalam salah satu temuan yang mengerikan, Rania dan dua gadis lainnya menemukan rumah di distrik al-Jihad Baghdad, di mana gadis-gadis berusia 16 tahun ditahan di sana untuk memenuhi secara eksklusif hasrat seksual personil militer AS.
Pemilik rumah bordil mengatakan kepada Rania bahwa dirinya mengangkut gadis ke dan dari pangkalan AS di Irak.(fq/prtv)