Publik Swedia kini tengah hangat membicarakan aturan pakaian setelah seorang pekerja wanita yang dilarang berhijab melaporkan manajernya kepada sebuah LSM anti diskriminasi.
Pengaduan itu berawal dari kasus pekerja Muslimah yang ditolak bekerja terutama di taman hiburan Liseberg di Gothenburg pada musim panas lalu, karena ia tidak mau melepaskan jilbab dan baju lengan panjangnya.
Menurut harian lokal Swedia, Goteborgs Posten, wanita itu dipecat dan hanya diberi kompensasi sebesar dua ribu dollar. Namun kasus itu dilaporkan kepada LSM terkait hingga akhirnya, ia kembali dipekerjakan dan boleh mengenakan pakaian Muslimah di taman hiburan itu.
Sebuah survey yang sebelumnya dilakukan oleh badan integrasi nasional (National Integration Board) menunjukkan bahwa ancaman terhadap Muslimah di Swedia tidak terbatas diskriminasi semata bahkan berupa serangan dan kekerasan secara fisik. Masalah jilbab misalnya, yang sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi seorang muslimah dari pandangan laki laki yang bukan mahramnya. Namun hal ini masih saja menjadi perdebatan sengit di beberapa negara Eropa selama lebih dari satu dekade.
Pada tahun 2004, larangan berjilbab telah diterapkan pada guru dan siswa Muslimah di semua sekolah negeri seperti di Perancis, di mana jumlah Muslim di sana mencapai 8% dari populasi penduduk. Di Jerman, yang didiami oleh hampir lima juta Muslim, delapan negara bagiannya melarang guru guru sekolah untuk mengenakan jilbab, sementara di ibukota Jerman, Berlin, seluruh masyarakat dilarang memakai jilbab. Dan Desember kemarin, parlemen Belanda mengeluarkan pernyataan larangan berjilbab. Sebelumnya, hal serupa telah dilakukan di kota Belgia.
Namun, banyak juga Muslim yang mampu mensosialisasikan diri mereka pada lingkungan sosialnya dengan tetap menjaga nilai nilai dan identitas Islamnya. Upaya keras dan tanpa henti ini akhirnya membuahkan hasil dengan adanya pengakuan terhadap Muslim di beberapa negara Eropa, hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya Muslimah yang terjun di kancah politik. (na-str/albwb)