Perdana Menteri Netanyahu berhasil menekan Paus Benediktus XVI untuk ikut mengutuk segala bentuk retorika yang bernuansa anti-Semit dan anti-Israel dan Netanyahu mengaku puas dengan respon yang diberikan oleh Paus.
Netanyahu melakukan pembicaraan dengan Paus Benediktus hari Kamis (14/5) di kota Nazareth. Dalam pertemuan itu, Netanyahu juga mendesak Paus untuk mengecam Iran karena pernyataan-pernyataan anti-Israelnya. Netanyahu menganggap Iran jelas-jelas "ingin menghapus Israel" dari peta dunia.
"Saya meminta Paus, sebagai tokoh moral, untuk ikut bersuara dengan tegas dan keras terhadap pernyataan-pernyataan dari Iran yang ingin menghancurkan Israel," kata Netanyahu.
"Saya bilang, di abad 21 ini, ada satu negara yang mengatakan akan menghancurkan negara Yahudi, tapi tidak ada suara yang dengan keras mengecam pernyataan itu. Ini tidak boleh terjadi," tukas Netanyahu.
Selanjutnya, perdana menteri Israel itu mengaku puas karena Paus memberikan respon yang positif. "Paus bilang, dia mengutuk segala bentuk pernyataan anti-Semit dan pernyataan yang bernuansa kebencian terhadap negara Israel," klaim Netanyahu.
Pada Paus Benediktus, Netanyahu mengatakan bahwa Iran adalah ancaman bagi Timur Tengah dan perdamaian dunia. Ia juga mengklaim bahwa Israel menginginkan perdamaian dengan rakyat Palestina asalkan perdamaian itu menjamin keamanan dan eksistensi negara Israel. Meski demikian, Netanyahu menyebut negara Palestina sebagai negara teroris yang mendapat bantuan dari Iran.
"Kami tidak bermaksud untuk mendominasi bangsa lain, tapi kami juga tidak mau negara teroris yang didukung oleh Iran berdampingan dengan kami dan mengancam keselamatan Israel," kata Netanyahu.
Sebagai rasa terima kasih pada Paus Benediktus yang telah mendukung Israel, Netanyahu memenuhi permintaan Paus agar Israel meningkatkan pemberian visa bagi para pendeta Vatikan yang ingin tinggal di negara-negara Arab atau ingin berkunjung ke wilayah pendudukan Israel di Palestina. Para pendeta Kristen kesulitan mendapatkan visa setelah pecah perang antara Israel dan Hizbullah di Libanon pada tahun 2006. (ln//Mnr/Ynet/JP)