Setelah tiga tahun invasi AS ke Irak, negeri 1001 malam itu kini berubah menjadi ‘pasar senjata’. Warga Irak berlomba-lomba membeli sepucuk pistol, senapan dan karabin untuk menjaga diri jika terjadi bentrokan sektarian lagi seperti beberapa waktu lalu, demikian laporan yang diturunkan oleh surat kabar The New York Times, edisi Senin (3/4).
Warga Irak nampaknya sudah tidak percaya dengan siapapun yang dianggap mampu melindungi mereka. Ini tercermin dari pernyataan Janabi, seorang wartawan televisi, "Saya tidak percaya ada yang bisa melindungi saya. Tidak Amerika, tidak juga pemerintah saya."
Janabi yang berasal dari keluarga Syiah dan tinggal di Bagdad tengah ini berencana membeli sebuah pistol sebagai upaya untuk melindungi dirinya sendiri, menyusul pembunuhan bernuansa sektarian yang kerap terjadi belakangan ini.
"Sekarang, tiap hari, saat saya berangkat kerja, saya khawatir bahwa saya mungkin tidak akan kembali ke rumah," kata Janabi.
Sejak peristiwa pemboman masjid suci warga Syiah di Samarra, di mana terdapat makam Imam Ali Al-Hadi, bentrokan sektarian antara Sunni dan Syiah di Irak tidak terhindarkan lagi. Sebanyak 450 warga sipil, kebanyakan dari kalangan Sunni tewas dan 81 masjid Sunni menjadi target perusakan sebagai aksi balasan atas pengeboman masjid Emas milik Syiah.
Sejak itu, jual beli senjata di Irak makin marak. Sekarang, banyak warga Irak yang membeli, membawa atau menyimpan senjata di rumah.
Mantan penguasa AS di Irak, Paul Bremer telah mengeluarkan perintah yang isinya mengizinkan kepemilikan senjata tangan termasuk AK-47-jenis senjata pembunuh paling populer di dunia-bagi mereka yang sudah berusia 25 tahun ke atas dengan syarat memiliki reputasi dan karakter’ yang baik.
Seorang penjual buku di Baghdad, Haidar Husein adalah satu warga Irak yang juga membeli senapan otomatis. Ia bahkan sudah mengajari istrinya menembak dengan senjata itu.
"Mungkin saya memperolok diri sendiri. Tapi memiliki sebuah senjata membuat saya merasa lebih aman," kata Hussein.
Sejak invasi AS ke Irak, Irak menjadi negara tanpa hukum. Perampokan, perampasan mobil dan penculikan menjadi pemandangan sehari-hari di negeri itu. Penculikan bahkan sudah seperti industri di Irak, di mana setiap harinya hampir 40 warga Irak yang diculik oleh kelompok bersenjata untuk mendapatkan uang tebusan sebesar 30.000 dollar.
Situasi ini mendorong warga Irak untuk mempersenjatai dirinya sendiri. Para pegawai kantor mulai mengenakan sarung pistol dan para wanita di rumah, mulai menyimpan senjata jenis Kalashnikov di bawah kasurnya.
Husein Abdul Khaliq, anggota sayap militer Mahdi dari kelompok Syiah Muqtada al-Sadr dengan bangga menodongkan AK-47 nya meskipun ia tidak diizinkan untuk melakukan itu karena usianya masih 17 tahun.
"Coba saja kalau mereka berani mengambilnya dari saya," kata Abdul Khaliq sambil menunjuk seorang polisi di dekatnya.
Harga Senjata Melangit
Karena tingginya permintaan, harga senjata di Irak makin meroket. Menurut para penjual senjata, harga rata-rata senapan jenis Kalashnikov AK-47 buatan Rusia melonjak dari 112 dollar menjadi 290 dollar AS dalam kurun waktu satu bulan.
Harga peluru juga ikut merambat naik dari 24 sen menjadi 33 sen per peluru. Granat tangan, juga begitu mudah didapat di Irak dengan harga 95 dollar.
"Saya tidak suka melakukan ini, tapi saya harus menaikan harga," kata seorang penjual senjata yang mengaku bernama Abu Abdullah pada The New York Times.
Senjata-senjata itu membanjiri Irak dari berbagai tempat. Sejumlah penjual senjata mengatakan, mereka mendapatkan granat dari para mantan tentara Irak.
Militer AS di Irak juga menambah arsenalnya dengan mengirimkan ratusan ribu senjata tangan dan jutaan amunisi untuk mempersenjatai pasukan keamanan Irak.
Duta besar AS Zalmay Khalilzad pada akhir Maret menuding kelompok milisi yang berafiliasi pada pemimpin Syiah dan punya hubungan kubu di pasukan keamanan dan kepolisian, membunuh banyak warga Irak daripada membunuh apa yang mereka sebut sebagai ‘teroris.’ (ln/iol)