Invasi AS ke Irak membawa rakyat negeri 1001 malam itu ke dalam kehidupan yang penuh nestapa. Banyak rakyat Irak yang terpaksa merampok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu banyak rakyat Irak yang menderita gangguan mental akibat trauma perang berkepanjangan di negeri itu.
Tiga tahun setelah invasi ilegal AS ke Irak, kekerasan, ketidakstabilan keamanan dan kekacauan jumlah pasien sakit jiwa yang menghuni Al-Rashad Mental Institute terus bertambah, seiring dengan pertambahan ratusan pasien yang menderita trauma. Sedikitnya ada 800 pasien yang membutuhkan terapi pemulihan mental.
"Dulu, Saddam menyiksa kami dan kemudian Bush (Presiden AS George W. Bush) mengirim tentaranya untuk menyiksa kami, dan sekarang ayah saya menyiksa saya. Saya sudah tidak tahan lagi," begitu ungkapan seorang pasien pada dr. Ali Farhan, direktur Al-Rashad. Pasien itu dipukul ayahnya karena ketidakstabilan perilaku dan tindak kekerasan yang kerap dilakukannya.
Farhan menyatakan, "Setelah tiga tahun invasi di Irak, seluruh Irak butuh terapi. Situasinya menjadi tidak terkendali. Pemandangan akan pertumpahan darah di jalan pada siang hari dan di televisi pada malam hari membuat orang jadi ‘gila’."
Al-Rashad yang terletak di pinggiran kota Sadr berusaha untuk menyaring sebanyak mungkin latar belakang kekerasan yang setiap hari terjadi di kota Baghdad. Di tampat pemulihan itu, televisi yang diletakkan di bangsal-bangsal harus dilindungi dengan jeruji besi. Program acara yang diperlihatkan juga terbatas pada program acara musik Irak dan Arab.
"Kami tidak memperlihatkan siaran berita karena semua kekerasan yang terjadi di negeri ini tidak banyak menolong dalam proses penyembuhan," ujar Farhan.
Al-Rashad merupakan tempat pemulihan pasien penyakit jiwa terbesar di Irak. Didirkan pada 1950 dan awalnya tempat perawatan bagi para pasien yang menderita paranoid Schizophrenic yang tidak bisa lagi berfungsi di masyarakat. Setelah rejim Saddam Husain tumbang, pasukan AS mengobrak-abrik rumah sakit ini, empat orang wanita diperkosa dan para pasiennya banyak yang kabur. Rumah sakit itu kemudian dikelola kembali, dan setelah tiga tahun invasi AS pasiennya yang dulu kabur banyak yang kembali bersama dengan pasien-pasien baru.
"Banyak warga Irak yang mengalami depresi. Mereka mengalami itu pada saat pemerintahan rejim Saddam Hussein yang penuh darah dan sekarang depresi itu berubah menjadi gangguan syaraf akibat penderitaan yang mereka alami sehari-hari," sambung Farhan.
Kompleks rumah sakit itu terbagi menjadi dua, satu bagian untuk pasien laki-laki dan bagian lain untuk pasien wanita. Rumah sakit tersebut memiliki taman yang sangat luas di mana sekitar 1.000 pasien bisa bebas berkeliaran.
Di barak-barak pasien yang panjang dengan lantai keabu-abuan namun nampak bersih itu, para pasien nampak duduk-duduk di sudut-sudut sambil menghisap rokok dengan pandangan mata kosong.
"Saya melihat seorang laki-laki dibunuh di depan mata saya. Saya ketakutan dan saya pikir dia adalah abang saya yang ditembak. Kemudian saya menemukan diri saya di rumah sakit ini," kata seorang pasien yang berprofesi sebagai ahli geologi bernama Khalid Tuma.
Dr. Fadel, salah satu dari delapan dokter yang merawat para pasien mengatakan, rumah sakitnya menerima dua tipe pasien, yaitu pasien yang menderita persoalan psikologis dan pasien yang mengalami gangguan mental parah.
"Mereka yang mengalami masalah psikologis lebih mudah ditangani, tapi mereka yang secara mental tidak stabil, lebih sulit," kata Fadel.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Association of Psychologist selama 4 bulan di Irak dan hasilnya dirilis bulan Februari lalu menyebutkan, 92 persen dari 1.000 anak yang disurvei mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini terkait dengan situasi yang menimbulkan ketakutan dan ketidakamanan di Irak.
Upaya pemulihan mengalami hambatan, karena persepsi di kalangan masyarakat Irak seperti juga masyarakat dunia pada umumnya yang beranggapan bahwa rumah sakit jiwa hanya untuk merawat orang-orang gila.
"Banyak pasien yang tidak mau datang ke rumah sakit. Kebanyakan para keluarga membawa anak-anak mereka ke seorang syeikh dan menjalani pengobatan tradisional. Mereka pikir gangguan setan yang telah menyebabkan sakit itu. Ketika kondisi pasien makin parah, baru dibawa ke rumah sakit," papar dr. Fadel.
Hambatan lainnya adalah, seorang dokter bisa menyatakan seorang pasien ‘sembuh’ dengan tujuan agar keluarganya tidak membawa kembali pasien tersebut. Penyebab lainnya adalah masalah keuangan.
"Secara finansial, mereka tidak mampu berobat kembali. Akibatnya banyak pasien sendiri yang kembali ke rumah sakit karena ketidakstabilan di luar rumah sakit. Mereka merasa lebih aman di sini," kata dr. Raghid Isa.
Untuk menjalankan operasionalnya, rumah sakit ini pernah mendapat bantuan dari komite palang merah internasional, namun ketika markas palang merah itu dibom pada 2003, Al-Rashad menjalankan operasionalnya sendiri.
Menurut dr. Khaldun Faiq, dulu, banyak tenaga dokter asing yang membantu rumah sakit itu. Tapi setelah terjadi gelombang penculikan di Irak, dokter-dokter itu tidak berani datang lagi. (ln/middleeastonline)