Ini tentu sebuah langkah mundur dan ditengarai hanya akan memperlemah partai Islam yang moderat dan hanya akan menguatkan posisi kaum konservatif.
“Ketika Anda ikut dalam sebuah proses demokrasi namun pemerintah yang bersangkutan sebenarnya tidak ingin demokrasi yang sebenarnya, maka Anda mulai bertanya-tanya pada diri sendiri untuk bergabung dengan kaum yang berlawanan dengan Anda.”
Mustafa Ramid, seorang pejabat di Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko berkomentar.
Kondisi partai Islam politik yang terkesan “merunduk” ini memang menjadi fenomena tersendiri di negara-negara Arab sekarang ini, hingga menjadi perhatian banyak pihak. Kondisi ini dimanfaatkan kaum Salafi untuk naik ke permukaan sebagai oposan pada rejim pemerintah setempat.
“Ikhwan dan beberapa kelompok politik moderat lainnya sudah kehilangan daya tariknya, mungkin karena mereka terlalu memfokuskan diri pada politik dan mengabaikan agama.” Ujar Khalil al-Anani, salah seorang pengamat politik di Saban Centre Middle East Policy. “Padahal inilah sekarang saatnya bagi kaum Islam moderat untuk mengambil hati rakyat. Atau mereka hanya akan menjadi sesuatu yang tak berguna bagi masyarakat.”
Berbanding terbalik dengan kesuksesan yang diraih dalam pemilu yang diikutinya, banyak partai Islam yang justru gagal dan tidak terlibat dalam penetapan kebijakan. Mereka berada dalam tekanan.
Banyak pengamat yang menyebutkan bahwa demokrasi membuat partai-partai Islam menjadi “normal”. Marina Ottaway dan Amr Hamzawy dari Carnegie Endowment mengatakan bahwa “Partai Islam yang bergerak tanpa banyak ditekan oleh pemerintah yang sedang berkuasa akan lebih banyak melakukan kompromi, hanya fokus pada isu kebijakan pragmatis, dan lebih komit pada proses demokrasi. Sedangkan gerakan Islam yang berlawanan dengan pemerintah lebih fokus pada isu ideologi.” (sa/ikhwanweb)