Parlemen Kuwait Minta Pemerintah Ubah Hari Libur Tahun Baru

Anggota parlemen Kuwait mengkritik pemerintah yang dianggap lebih mementingkan perayaan Tahun Baru, ketimbang perayaan hari besar Islam termasuk Tahun Baru Islam. Hal ini terlihat dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang terkesan diskriminatif.

Peraturan pemerintah menetapkan untuk menggeser semua hari libur nasional, termasuk hari libur tahun baru Islam yang jatuh pada hari kerja ke libur akhir pekan. Namun aturan itu tidak berlaku untuk hari libur Tahun Baru.

Anggota parlemen Kuwait dari kalangan Islamis, Walid Al-Tabtabaei menilai pemerintah telah mengabaikan identitas Islami masyarakat Kuwait. Untuk itu, ia bersama kalangan Islamis lainnya di parlemen akan mengajukan usulan pada pemerintah agar menggeser hari libur tahun baru yang jatuh pada hari selasa, ke hari libur akhir pekan sesuai peraturan yang sudah ditetapkan.

Al-Tabtabaei menolak dikatakan bahwa ia dan kelompok Islamis di parlemen keberatan tahun baru dijadikan hari libur resmi. "Kami cuma heran, mengapa tahun baru seolah lebih sakral daripada tahun baru Islam. Mengapa ada pengecualian untuk hari libur tahun baru? Yang kami minta cuma kesetaraan, " tukasnya.

Al-Tabtabaei juga menolak jika dikatakan telah melanggar hak kaum Kristiani di Kuwait dengan meminta agar hari libur tahun baru di geser ke akhir pekan. Menurutnya, tanggal 1 Januari bukan hari besar keagamaan. "Hari itu cuma hari untuk bersenang-senang, " ujarnya.

Al-Tabtabaei mengaku optimis pemerintah Kuwait akan mengabulkan usulannya dan kolega-koleganya di parlemen. Apalagi kementerian informasi negeri itu telah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengeluarkan izin bagi para penghibur atau penyanyi dari luar Kuwait yang ingin menggelar konser di malam tahun baru.

Namun sejumlah media massa di Kuwait mengecam usulan kalangan Islamis di parlemen dan kebijakan kementerian informasi. Pemimpin Redaksi surat kabar Al-Watan dan Newsweek edisi bahasa Arab, Muhammad Al-Jassem menuding kalangan Islamis di parlemen sengaja memanfaatkan emosi kelompok-kelompok Islam dengan mengaitkan perayaan tahun baru dengan identitas Muslim.

"Memaksakan identitas keIslaman di masyarakat bukan hal yang baru di Kuwair atau di negara-negara Arab lainnya. Isu ini tidak signifikan dan kontroversi yang muncul bukan persoalan yang serius, " kata Al-Jassem.

Ia mengungkapkan, selama 40 tahun, tahun baru sudah menjadi hari libur nasional di Kuwait dan kelompok minoritas Kristen mendapatkan jaminan penuh untuk menikmati kebebasan beragamanya.

"Jika pemerintah menyerah pada desakan kalangan Islamis, untuk menggeser hari libur tahun baru dan melarang konser-konser musik di malam tahun baru, hal ini menunjukkan betapa lemahnya pemerintah. Mereka cuma ingin menghindari munculnya masalah dan tidak mau membuat kesal kalangan Islamis, " papar Al-Jassem.

Laporan-laporan surat kabar yang terbit di Kuwait menulis, keputusan pemerintah untuk tidak mengeluarkan izin bagi para penyanyi dari luar Kuwait yang ingin menggelar konser di malam tahun baru, bernuansa politis, karena tidak ada dasar hukumnya. Pemerintah, menurut surat-surat kabar itu, takut parlemen menjatuhkan interpelasi, sehingga mengambil keputusan tersebut.

Kementerian Informasi Kuwait, kabarnya mem-black list sejumlah penyanyi perempuan antara lain penyanyi asal Libanon Haifaa Wahbi dan Marwa serta penyanyi asal Mesir, Ruby. (ln/al-arby)