Parlemen Inggris dengan suara mayoritas pada hari Jumat menyetujui negarnya untuk bergabung dalam satu koalisi yang dipimpin AS meluncurkan serangan udara terhadap Negara Islam di Irak dan Suriah, setelah Perdana Menteri Inggris David Cameron mendesak lembaga pembuat hukum di negaranya untuk menyetujui penyerangan terhadap jihadis tersebut.
Gedung Putih memuji Inggris untuk bergabung dengan koalisi untuk perangi ISIS.
“Kami tentu menyambut suara yang terjadi di parlemen Inggris,” kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest.
“Kami sangat senang melihat dukungan yang kuat dari anggota parlemen untuk militer Inggris yang akan bekerja bersama prajurit AS .”
Denmark dan Belgia juga memutuskan untuk bergabung dengan koalisi anti-ISIS.
Enam jet tempur Tornado Inggris yang berbasis di Siprus siap untuk memulai serangan dalam beberapa hari.
Pemungutan suara itu dilakukan setelah perdebatan sengit di mana kadang-kadang anggota parlemen berulang kali mempertanyakan Perdana Menteri David Cameron tentang lamanya dan tujuan operasi.
Perdebatan itu membangkitkan kenangan akan peranan Inggris dalam invasi pimpinan AS ke Irak pada tahun 2003 di bawah pemerintahan Perdana Menteri Tony Blair, yang menyebabkan kematian 179 tentara Inggris dalam enam tahun.
Rushanara Ali, juru bicara partai buruh , menyatakan walk out , untuk menjauhkan diri setelah pimpinan partai mendukung rencana pemerintah.
“Saya mengerti kasus yang telah dibuat dan saya tidak akan memberikan suara terhadap keputusan itu . Saya memiliki hati nurani untuk tidak mendukung keputusan , “tulisnya kepada pemimpin Partai Buruh Ed Miliband.
Ali terpilih pada tahun 2010 sebagai perwakilan populasi Muslim di daerah pemilihan multi-etnis di Bethnal Green dan Bow di London timur, yang memiliki populasi Muslim besar.
“Saya tidak yakin bahwa aksi militer ini akan efektif dalam jangka pendek untuk menargetkan teroris tanpa merugikan warga sipil yang tak berdosa,” katanya.
“Terlalu banyak kesalahan yang telah dibuat selama dekade terakhir dan terlalu banyak rakyat di daerah konflik harus membayar harga tinggi untuk tindakan yang salah oleh Inggris dan negara-negara lain.” (Arby/Dz)