Calon PM Irak Jawad al-Maliki dan Ayatullah Ali Sistani sudah melakukan pembicaraan bagi kemungkinan untuk melarang adanya kelompok milisi di negeri 1001 malam itu. Meski menjauhi urusan politik, al-Sistani masih memiliki pengaruh yang besar dan kata-katanya selalu didengarkan oleh para politikus dan para pemuka masyarakat di Irak.
Pelarangan adanya kelompok milisi ini diungkapkan oleh al-Sistani pada Kamis (27/4) dengan alasan keamanan harus menjadi prioritas utama bagi Irak. Pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor al-Sistani mengatakan, "Senjata-senjata harus secara eksklusif hanya berada di tangan pasukan keamanan pemerintah dan kekuatan ini harus dibangun berdasarkan basis nasional yang selayaknya, sehingga kesetiaan mereka hanya untuk negara saja bukan untuk partai politik atau yang lainnya."
Al-Maliki yang bakal dinobatkan menjadi PM Irak rencananya akan mengintegrasikan kelompok milisi-kebanyakan di antaranya beraliansi dengan partai-partai Syiah-ke dalam angkatan bersenjata atau kepolisiannya.
Para manta anggota milisi yang telah bergabung dengan pasukan pemerintah, khususnya anggota milisi bentukan kementerian dalam negeri yang didominasi Syiah, selama ini oleh kalangan Arab Sunni dituding telah mengoperasikan pasukan pembunuh dengan target warga sipil Sunni.
Pemerintahan Irak sebelumnya, sebenarnya sudah melakukan upaya untuk membubarkan kelompok milisi, tapi gagal. Jumlah kelompok milisi malah bertambah, salah satunya karena AS dan pasukan Irak tidak mampu memberikan jaminan pada keamanan publik.
Pemimpin salah satu kelompok milisi terbesar di Irak, Muqtada as-Sadr pada Kamis kemarin kembali diminta untuk menyetujui seruan agar membubarkan kelompok milisinya Jaisy al-Mahdi. Namun as-Sadr mengatakan, semua kelompok di dalam dan di luar pemerintah, bekerja untuk kepentingan dan melayani rakyat.
Sementara itu, pihak agresor AS meyakini pemerintahan bersatu yang terdiri dari kelompok Sunni, Syiah dan Kurdi akan membantu meredam munculnya pertikaian sektarian dan meminimaliskan perlawanan terhadap pasukan AS, sehingga sekitar 130 ribu pasukan AS bisa mulai meninggalkan Irak.
Letnan Jenderal Peter Chiarelli, orang kedua di Irak dari kalangan militer AS mengatakan bahwa kelompok milisi menjadi ancaman terbesar bagi stabilitas dalam negeri Irak.
Dalam sebuah briefing pada Kamis kemarin, juru bicara AS, Mayor Jenderal Rick Lynch menyatakan, " Kami tidak ingin operasi kelompok milisi di Irak makin meluas." Lynch juga mengatakan tidak menemukan adanya ‘pengungsian’ dari kelompok Syiah maupun Sunni dari wilayah-wilayah yang potensi terjadi pertikaian sektarian. Pernyataan Lynch ini bertentangan dengan keterangan para pejabat di Irak yang menyatakan ada pengungsian karena kekhawatiran adanya bentrokan sektarian, seperti yang terjadi setelah peristiwa pemboman masjid emas di Samarra. (ln/aljz)