“Waktunya makin gawat, Prancis dalam bahaya,” tulis surat itu, seperti dilansir laman BBC, Rabu (28/4).
Salah satu pimpinan yang menandatangani surat itu adalah mantan Komandan Pasukan Asing Christian Piquemal yang pernah ditangkap pada 2016 karena ikut serta dalam demo anti-imigran.
Surat itu juga mengkritik tindakan keras pemerintah terhadap kelompok pengunjuk rasa Rompi Kuning dan menyebut polisi sebagai kambing hitam dan perpanjangan tangan penguasa.
Surat itu diakhiri dengan kalimat,”Ini sudah bukan lagi saatnya menduga-duga, karena esok hari perang saudara akan mengakhiri kekacauan dan pembunuhan ini–dan kalian akan bertanggung jawab atas ribuan kematian.
Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Florence Parly mengancam siapa pun anggota militer yang menandatangani surat itu akan diberi sanksi karena mereka seharusnya netral secara politik.
“Bagi siapa pun yang melanggar kewajiban, akan diberi sanksi dan jika ada tentara aktif yang ikut menandatangani saya meminta kepala satuan masing-masing menerapkan sanksi,” kata Parly.
Tokoh aliran kanan Marine Le Pen yang menjadi rival Macron dalam pemilu presiden 2017, mendukung munculnya surat itu dengan mengatakan, “Saya mendukung Anda untuk ikut bergabung dalam perang yang akan datang, perang Prancis.
Le Pen mengatakan Prancis memang punya banyak masalah di antaranya sejumlah kawasan yang melawan hukum, kejahatan, kebencian dan tidak adanya patriotisme dari para pemimpin dan semua masalah itu hanya bisa diselesaikan dengan politik.
Komentar Le Pen itu menuai kritikan dari kubu partai kiri maupun kanan dan mengejutkan banyak pihak karena dia kembali memanas-manasi para pendukung konservatif.
Di negara yang memiliki ribuan purnawirawan jenderal, dukungan dari hanya sekitar 20-25 jenderal dalam surat itu dengan bahasa tulisan yang cukup keras memang menjadi perhatian.
Surat itu juga menyinggung peristiwa pembunuhan seorang guru, Samuel Paty, oleh radikalis Chechnya, seorang imigran, pada Oktober 2020 lalu.
“Siapa yang bisa membayangkan sepuluh tahun lalu seorang guru pada suatu hari akan mati dipenggal ketika pulang dari sekolah.”
Awal April lalu parlemen Prancis menyetujui undang-undang kontroversial “anti-separatisme” yang menyasar kelompok Islam radikal, termasuk upaya reformasi pendidikan serta pengawasan lebih ketat terhadap masjid dan para penceramah.[merdeka]