“Pekerjaan sekarang telah mengering,” ujar ayahnya, Juma Gul, 47 tahun, seolah menyalahkan pandemik.
“Bukannya aku ingin menikahkannya, tapi pilihan apa yang aku miliki?” keluh Juma.
Halime tidak sendiri. Di seluruh Afghanistan, anak-anak telah menderita konsekuensi berat seiring datangnya pandemik Covid-19.
Abdul, seorang anak berusia sembilan tahun yang bersekolah di Kabul sebelum negara itu dikunci, mengatakan dia sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya di pasar, mencoba menjual ‘bolani’, sejenis roti isi sayur yang umum di Afghanistan.
“Di hari pertama jualan, saya diteriaki ‘Pergi, Nak!’ Kadang-kadang saya dipukul karena dianggap mengganggu,” kata Abdul.
Ia bukan mengeluhkan pekerjaannya, tetapi dia ketakutan akan pelecehan yang diterimanya.
Sebelum penyebaran virus corona, sekitar seperempat anak-anak Afghanistan antara usia lima dan 14 sudah bekerja, dengan setengah dari mereka tidak bersekolah. Angka-angka ini sekarang telah memuncak.
Direktur pendidikan di Action for Development Sonia Nezami mengatakan pandemik telah merampas dunia pendidikan anak-anak.
“Ada banyak bahaya di jalanan dan sejak pandemik, anak-anak menghadapi masa yang semakin sulit karena banyak keluarga mengirim anak-anak mereka untuk mencari uang,” Sonia, dikutip dari TN, Selasa (7/7).
Afghanistan telah melaporkan 30.000 infeksi Covid-19, tetapi dengan beberapa pusat pengujian dan tumpukan sampel evaluasi, jumlah resminya kemungkinan jauh lebih besar.
Di bagian lain Afghanistan, di puncak gunung Badakhshan, Nasima, usia 10 tahun, sedang berjuang menghadapi kenyataan pandemik lainnya, sekolahnya telah ditutup selama berbulan-bulan.
Sekolah-sekolah Afghanistan berada dalam krisis sebelum pandemik. Jumlah anak yang belajar menurun saat pandemik semakin parah dan pendanaan dari donator berakhir.
Heather Barr, co-direktur Human Rights Watch untuk Divisi Hak-Hak Perempuan, mengatakan banyak orangtua yang kemudia memilih menikahkan anaknya.
Tiga puluh lima persen gadis Afganistan menikah dini gara-gara putus sekolah. Anak perempuan Afghanistan yang putus sekolah, tiga kali lebih mungkin menikah sebelum 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan menengah,” tulisnya. (Rmol)