Perintah militer Israel yang melarang warga Israel mengajak warga Palestina satu mobil di kendaraan pribadinya di kawasan Tepi Barat, mendorong delapan organisasi pemantau hak asasi manusia melayangkan petisinya ke Pengadilan Tinggi Israel.
Situs Israel, Haaretz menyebutkan, petisi itu disampaikan pada Minggu (7/1) oleh pengacara Michael Sfard yang mewakili organisasi Yesh Din, sebuah organisasi perlindungan hak-hak sipil di Israel, Gisha, Komite Publik Anti Kekerasan Israel dan organisasi hak asasi lainnya.
Mereka mengkritik perintah yang dikeluarkan Komando Pusat Militer Israel, yang akan mulai diberlakukan pada 19 Januari mendatang.
Sfard menyatakan, larangan semacam itu hanya akan menimbulkan jurang pemisah antara warga Israel dan Palestina yang sudah memiliki hubungan sosial, politik dan perdagangan.
Delapan organisasi hak asasi di Israel itu menilai perintah yang dikeluarkan militer Israel mengingatkan kembali pada sistem apartheid yang menerapkan ideologi "pemisahan" dengan memberikan sangsi pada orang-orang yang dianggap berbeda.
Secara terpisah, kelompok advokasi Israel juga menuding militer Israel belum sepenuhnya melepaskan kontrol di Jalur Gaza.
Laporan Gisha: Central for the Legal Protection of Freedom Movement menyebutkan, meski Israel sudah menarik mundur komponennya dari Jalur Gaza, Israel masih memperketat kontrolnya pada sejumlah komponen lain. Misalnya, membatasi pergerakan warga Palestina yang ingin keluar dan masuk Jalur Gaza.
Gisha rencananya akan menyampaikan laporannya itu pada sejumlah diplomat dan delegasi Uni Eropa di Israel pada minggu-minggu ini.
"Menerapkan pembatasan yang ketat bagi pergerakan manusia dan barang, baik yang akan masuk maupun keluar Jalur Gaza, serta menahan dana yang digunakan untuk pelayanan publik telah memberikan kontribusi bagi krisis ekonomi dan kemanusiaan di Jalur Gaza serta kekejaman yang terjadi selama 38 tahun pendudukan Israel, " tulis Gisha dalam laporannya. (ln/Haaretz)