Di Libya, pejuang revolusioner telah menolak tawaran Turki untuk menegosiasikan kesepakatan damai dengan rezim Muammar Gaddafi setelah kedua belah pihak mengadakan pertemuan.
Juru bicara pasukan revolusioner, Kolonel Ahmad Bani, mengatakan tidak akan ada pembicaraan sebelum Gaddafi dan keluarganya turun atau meninggalkan negara itu, Reuters melaporkan.
Turki telah mengadakan pembicaraan dengan utusan dari pemerintah Gaddafi dan wakil-wakil dari kubu oposisi.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan Ankara bekerja pada sebuah peta jalan untuk mengakhiri perang di Libya. Erdogan mengatakan rencana itu mencakup gencatan senjata dan penarikan pasukan Gaddafi dari sejumlah kota.
"Sebuah gencatan senjata sebenarnya harus diamankan segera, dan pasukan pro-Gaddafi harus menarik diri dari kota-kota yang mereka kepung di beberapa provinsi Libya," kata Erdogan dalam konferensi pers pada hari Kamis kemarin (7/4).
"Bantuan kemanusiaan harus disediakan untuk semua warga Libya, tanpa diskriminasi apapun dan koridor kemanusiaan aman harus ditetapkan untuk tujuan ini," tambahnya.
Turki telah berulang kali menyuarakan oposisi sejak serangan udara NATO dimulai. Lebih dari 500 warga Libya dilaporkan dievakuasi ke Turki.
Pekan lalu, aksi protes meletus di Benghazi setelah Erdogan menolak dukungan bersenjata untuk pasukan oposisi.
Pada hari Kamis kemarin, serangan udara NATO menewaskan sedikitnya lima pasukan oposisi di kota timur Brega, menandai serangan kedua mematikan NATO terhadap pasukan revolusioner Libya dalam waktu kurang dari seminggu. Pasukan revolusioner Libya menuduh pasukan Barat berpihak dengan penguasa Libya Muammar Gaddafi.
Dewan Keamanan PBB mengadopsi sebuah resolusi yang memberlakukan zona larangan terbang di atas Libya dan memungkinkan untuk "semua langkah yang diperlukan" untuk melindungi warga sipil dari serangan pasukan Gaddafi pada bulan lalu.
Namun, sejumlah warga sipil tewas dalam serangan udara dan laut yang dipimpin Barat di negara Afrika Utara.(fq/prtv)