Setelah para santri dan pengelola Masjid Merah menyerahkan diri, aparat keamanan Pakistan langsung mengambil alih masjid itu. Peristiwa masjid Merah ditanggapi beragam oleh para analis di Pakistan, ada yang mengecam dan ada yang mendukung tindakan pemerintah Pakistan terhadap masjid tersebut.
"Pemerintahan Musharraf yakin semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekuatan militer dan peluru, tidak peduli apa reaksi yang muncul. Pemerintah sengaja mengangkat isu ini, kemudian melancarkan operasi berdarah, untuk menunjukkan pada Barat bahwa dia mampu mengatasi masalah militansi, " tukas Presiden Muttehida Majlis-e-Amal (MMA)-aliansi partai-partai Islam yang menjadi oposisi-Qazi Hussein Ahmed.
Sejumlah anggota legislatif dan akademisi juga menuding Musharraf tutup mata terhadap upaya para ulama di Masjid Merah dalam bidang pendidikan. Mereka menilai peristiwa ini sebagai upaya Musharraf untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu-isu pemerintah yang lebih penting.
Presiden Pakistan Pervez Musharraf menawarkan uang sebesar 85 dollar bagi para santri Masjid Merah yang menyerahkan diri, agar mereka bisa pulang ke rumah masing-masing. Pemerintah Pakistan juga berjanji akan memberikan pengampunan pada semua santri Masjid Lal atau Masjid Merah.
Cara itu ternyata jitu untuk mengakhiri ketegangan antara para santri dan pengelola masjid dengan aparat keamanan Pakistan. Sekitar 800 santri akhirnya menyerahkan diri, setelah salah seorang pimpinan masjid Maulana Abdul Aziz Ghazi "tertangkap."
Cerita di balik "tertangkapnya" Abdul Aziz Ghazi cukup unik. Ia mengenakan burqa dan keluar sekitar keluar dari masjid bersama 50 santrinya setelah pemerintah Pakistan berjanji memberikan amnesti. Ketika seorang polisi aparat keamanan akan memeriksa para santri yang menyerahkan diri itu dengan scanner, salah seorang santri yang mengenakan burqa menolak diperiksa meski yang memeriksanya seorang polisi perempuan. Santri itu malah mencoba lari kembali ke masjid, tapi berhasil ditangkap dan ternyata santri yang memakai burqa itu adalah Abdul Aziz Ghazi. Ia kemudian langsung dibawa aparat keamanan Pakistan ke tempat yang sampai saat ini tidak diketahui lokasinya. Isteri Ghaza, Ummi Hassan yang menjadi kepala sekolah khusus perempuan Jamia Hafsa juga ditangkap.
Menteri Penerangan Pakistan Tariq Azeem dalam keterangan persnya mengatakan, pihaknya tetap akan memproses secara hukum dua ulama bersaudara yang mengelola masjid tersebut, meskipun mereka menyerahkan diri. Aparat kepolisian menuduh Ghazi bersaudara terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan dan terorisme.
Sementara itu, saudara laki-laki Ghazi, Ibrahim membantah bahwa dirinya menyerah karena takut. "Saya bukan seorang pengecut. Tapi saya merasa tidak nyaman berperang dengan saudara-saudara saya sendiri, " tukasnya.
Ia juga membantah tuduhan bahwa ia memaksa para santrinya untuk melawan aparat dan menolak menjelaskan soal senjata dan adanya pelaku bom bunuh diri yang dicurigai bersembunyi di masjid itu.
Nasib Para Santri Belum Jelas
Seorang santri bernama Muhammed Inam mengatakan, sebagai santri ia tidak bisa menolak apa yang diperintahkan para gurunya. Menurutnya, jumlah siswa garis keras dan ingin melakukan perlawanan jumlahnya sedikit, lebih banyak siswa yang ingin menyerahkan diri karena tidak mau bertikai.
Ditanya apakah ia akan melanjutkan studinya di Masjid Merah, Inam yang mengambil jurusan Fiqih ini menjawab, "Saya tidak tahu, saya betul-betul sedang bingung. Saya tidak tahu bagaimana nasib madrasah kami. Saya akan memutuskannya nanti. "
Masjid Merah, memiliki sedikitnya 4-5 ribu siswi di Jamia Hafsa dan sekitar 3 ribu siswa di Jamia Faridia.
Shazia, siswi di Jamia Hafsa menegaskan bahwa para santri tidak melakukan kesalahan apapun. Ia mengaku para gurunya tidak pernah memaksa. "Saya tidak melakukan tindakan yang salah. Adalah kewajiban setiap Muslim untuk menentang kebatilan yang ada di masyarakat, " ujar Shazia yang langsung dijemput oleh ayahnya pulang kembali ke rumah mereka di Kashmir.
"Saya mengecam dan menolak kebijakan-kebijakan Ghazi. Saya mengirim anak perempuan saya ke sini untuk belajar bukan untuk berperang, " kata sang ayah emosi. Ia mengatakan, tidak akan mengirim kembali puterinya ke sekolah itu.
Saat ini ada sekitar 12 ribu madrasah di Pakistan, banyak di antaranya menawarkan pendidikan gratis, khususnya di wilayah pedalam yang tidak terjangkau program pendidikan oleh pemerintah. (ln/iol)