Irak kini kekurangan tenaga dosen, ilmuwan dan staff perguruan tinggi, karena sebagian besar dari mereka mengungsi ke luar negeri dan banyak di antaranya yang tewas terbunuh. Kalangan akademisi yang mengungsi pun mengaku enggan kembali ke Irak, karena merasa tidak aman dan nyawa mereka terancam.
Menurut data kementerian pendidikan Irak, sejak tahun 2003 sampai bulan Oktober 2007, tercatat 240 dosen yang terbunuh. Mantan menteri pendidikan Irak, Tariq al-Bakaa, diperkirakan 2.000 akademisi Irak mengungsi ke luar negeri antara lain ke Suriah, Libya, Yordania dan ke sejumlah negara-negara Teluk. Beberapa akademisi Irak, bahkan kini ada yang sudah mapan mengajar di Universitas Internasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Suriah. Tapi banyak juga di antara akademisi itu yang tidak mendapatkan pekerjaan dan harus berjuang memenuhi kebutuhannya sebagai pengungsi.
Ancaman keamanan bagi para ilmuwan dan akademisi di Irak, terutama di Bagdad, memang makin meluas. Itulah sebabnya, mereka yang di pengungsian takut kembali ke tanah airnya. Zahra, seorang kandidat doktor di salah satu universitas di Irak menceritakan, salah seorang profesor pengujinya terpaksa mengungsi ke luar negeri karena mendapat surat ancaman berisi selongsong peluru berlumur darah dan pesan bertuliskan "Anda menjadi target karena Anda adalah seorang ilmuwan."
"Saya pikir, situasi keamanan yang kondusif mungkin akan mendorong mereka untuk kembali ke Irak. Sekarang, banyak profesor yang mengungsi ke luar negeri dan universitas-universitas kekurangan tenaga pengajar, " ujar Zahrah.
Lain lagi cerita seorang isteri yang suaminya bekerja sebagai dosen farmakologi di Irak dan sekarang mengungsi ke Suriah. Sang isteri bercerita, ia pernah kembali ke Irak sementara suaminya tetap tinggal di Suriah, untuk mengetahui apakah mereka aman jika kembali ke Irak.
"Saya muak tinggal di Suriah. Saya kembali ke Irak dengan anak-anak lelaki saya untuk memastikan bahwa situasi sudah aman sebelum suami saya juga kembali ke Irak. Dia sekarang bekerja di universitas di Suriah, tapi ia ingin kembali ke universitasnya sendiri, berkumpul dengan mahasiswa-mahasiswanya di Irak, " ujar sang isteri.
Al-Bakaa menambahkan, "Anda tidak akan kembali ke negara di mana Anda akan dibunuh." Al-Bakaa yang kini sedang melakukan riset di Universitas Harvard, tentang sistem pendidikan dan ancaman-ancaman terhadap para akademisi di Irak pindah ke AS pada Oktober 2005, lewat bantuan organisasi Scholars at Risk Network. Menurut penelitian yang dibuatnya, 60 persen dari akademisi yang terbunuh di Irak, khususnya di kota Baghdad memiliki gelar PhD dan mengajar di universitas-universitas Irak.
"Tak seorang pun yang diadili atas kasus-kasus pembunuhan itu, " kata Al-Bakaa.
Kawther Ahmed Fadel, mahasiswa universitas di al-Mustansiria, Baghdad mengatakan, yang menjadi target kekerasan adalah profesor-profesor terbaik. "Setiap pekan pasti ada saja pengumuman seorang profesor atau staff pengajar lainnya tewas terbunuh, " ujar Fadel.
Lembaga Scholars at Risk Network saat ini sedang mengurusi 21 akademisi, 11 di antaranya asal Irak yang ingin mengungsi ke luar negeri.
Sampai era tahun 80-an Irak menjadi pusat ilmu pengetahuan di dunia Arab, meski rejim Saddam Hussein saat itu memangkas dana pendidikan untuk keperluan militernya dalam perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Pada masa kekuasaan Saddam dan ketika PBB menjatuhkan sanksi pada Irak tahun 1990-an, juga banyak profesor-profesor Irak yang berkualitas mengungsi ke luar negeri.
Juru bicara kementerian pendidikan Irak, Basil al-Khateeb menyatakan, pemerintah menghimbau agar para akademisi dan ilmuwan di pengungsian kembali ke Irak. Parlemen Irak kini sedang membahas rencana kenaikan gaji dan tunjangan sebesar 200 persen, termasuk memberikan asuransi jiwa dan perumahan bagi staff pengajar universitas. Tapi sejumlah akademisi ragu pemerintah dan kementerian pendidikan akan cukup melindungi mereka. (ln/mol)