Niat Tersembunyi AS di Balik Serangan Israel ke Libanon

Israel ternyata sudah merancang serangan terhadap Hizbullah jauh sebelum Hizbullah menawan dua serdadu Israel. Untuk mewujudkan rencananya itu, Israel sudah menggalang kerjasama dengan pemerintahan Bush.

Hal tersebut diungkapkan seorang wartawan veteran Seymour Hersh yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai wartawan investigatif Amerika. Hers menyatakan, seorang konsultan pemerintahan AS yang dekat dengan Israel mengungkapkan padanya bahwa Israel memulai semuanya itu lewat Cheney (wakil presiden AS). Israel ingin mendapatkan kepastian Cheney dan kantornya akan memberikan dukungan, termasuk dukungan dari National Security Council yang membidangi masalah Timur Tengah.

Mengutip pernyataan dari para pejabat dan mantan penjabat Israel serta agen intelejen dan para diplomat AS, Hers mengatakan, sejumlah pejabat Israel berkunjung ke Washington awal musim panas untuk membahas operasi militer terhadap Hizbullah.

Menurut penuturan konsultan tadi, para pejabat Israel itu ingin mendapatkan "lampu hijau bagi operasi pembomannya dan melihat bagaimana AS akan bersikap." Cheney kemudian melakukan pendekatan dengan Bush. Setelah pendekatan dengan Bush berhasil, ia mendekati Condi (Condoleezza Rice, Menlu AS).

Hers mengungkapkan, Gedung Putih tidak memberikan respon pada sejumlah detil daftar pertanyaan yang menyinggung apakah Gedung Putih benar-benar membantu rencana operasi militer Israel. Yang jelas, pemerintahan Bush menyatakan menentang desakan agar segera dilakukan gencatan senjata dan bukan rahasia lagi bahwa AS mengirimkan bom-bom berpresisi tinggi dan amunisi-amunisi ke Tel Aviv atas permintaan Israel.

Pada Hers, sejumlah pejabat dan mantan pejabat yang terlibat krisis di Timur Tengah mengataka, Israel melihat ‘penculikan’ serdadunya sebagai momen yang tepat untuk memulai operasi militernya pada Hizbullah.

Apa yang diungkap Hers, tidak jauh berbeda dengan pidato Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah di televisi yang mengatakan bahwa ia pada akhirnya tahu bahwa sebagian dari pertikaian ini telah direncanakan Israel yang ingin mengobarkan perang terhadap Hizbullah.

Pintu untuk Serang Iran

Masih menurut konsultan pemerintah AS tadi, pemerintah Bush berpikir bahwa operasi militer Israel terhadap Hizbullah merupakan demo untuk serangan ke Iran.

"Israel mengatakan pada kami, operasi itu akan menjadi perang yang murah dengan banyak keuntungan. Kenapa menentangnya? Kita bisa mencari dan membom misil-misil, lorong-lorong dan bunker-bunker dari udara. Ini akan menjadi sebuah demo untuk Iran," kata konsultan tadi pada Hers.

Pemerintah Bush melihat kesempatan untuk menghancurkan dua sasaran dengan satu pukulan, lewat serangan Israel ke Hizbullah. Karena AS sendiri sedang mengincar Iran dan Hizbullah. Iran, karena dianggap sebagai Poros Setan dan karena program nuklirnya. Hizbullah, karena ambisi AS untuk menegakkan demokrasi versinya sendiri di seluruh Timur Tengah dan Libanon adalah salah satu sasaran AS.

"Gedung Putih memfokuskan diri untuk melucuti misil-misil Hizbullah, karena, jika ada opsi militer terhadap fasilitas nuklir Iran, AS bisa menghindar dari senjata-senjata Hizbullah yang kemungkinan bisa digunakan sebagai balasan dengan sasaran Israel," sambung konsultan yang tidak diungkap namanya oleh Hers.

Beberapa hari sebelum Israel menyerang Libanon, Bush menyatakan bahwa Hizbullah, Iran dan Suriah sebagai salah satu ‘akar penyebab ketidakstabilan’ di Timur Tengah. Bush sendiri menempatkan operasi militer sebagai agendanya terhadap Iran. Cuma, pertanyaan besarnya bagi Bush- menurut seorang mantan agen intelejen senior- bagaimana Bush menghancurkan sejumlah target-target berat di Iran dengan sukses.

"Siapa sekutu dekat angkatan udara AS dalam rencananya itu? Bukan Kongo, tapi Israel. Semua orang tahu bahwa para teknisi Iran telah memberikan masukan pada Hizbullah untuk membuat lorong-lorong dan tempat pemyimpanan senjata di bawah tanah," kata sumber tadi.

Lebih lanjut, sumber mantan intelejen itu mengatakan, pembahasan mengenai rencana besar itu juga melibatkan Kepala Staf Gabungan dan Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld. Menurutnya, Gedung Putih sejak lama sudah merasa gelisah untuk mencari-cari alasan guna menyerang Hizbullah, sebagai awal untuk menyerang Iran.

Namun, mantan pejabat Menlu AS pada masa pemerintahan Bush yang pertama, Richard Armitage menyarankan agar pemerintahan Bush berpikir dua kali untuk mewujudkan rencananya itu, melihat kerugian besar yang dialami Israel selama satu bulan melawan Hizbullah.

"Jika kekuatan militer yang paling dominan di Timur Tengah-pasukan Israel-tidak bisa menenangkan negara seperti Libanon, dengan jumlah populasi hanya empat juta orang, anda sebaiknya memikirkan baik-baik untuk melakukan hal yang sama ke Iran, yang memiliki kedalaman strategi dan jumlah penduduk tujuh juta orang," ujar Armitage pada Hers.

"Satu hal, pemboman sejauh ini telah menyatukan rakyat untuk melawan Israel," sambungnya.

Selama pertempuran dengan Hizbullah, Israel kehilangan 110 prajurit terlatihnya. Sementara Hizbulah, telah membuktikan pembalasannya menyebabkan kerugian besar di pihak militer Israel. Hizbullah sedikitnya berhasil menembak jatuh empat helikopter Apache dan merusak sebuah kapal perang dan tank-tank Mirkava kebanggaan Israel.

Kegagalan Israel

Israel dengan taktik perangnya, terbukti gagal untuk mengubah pandangan Muslim dan Libanon agar menentang pejuang Syiah Hizbullah.

Israel meyakini, dengan menargetkan infrastruktur di Libanon termasuk jalan-jalan bebas hambatan, depo-depo pengisian bahan bakar bahkan landasan pacu bandara Beirut, bisa membuat warga Kristiani dan Sunni di Libanon menentang Hizbullah. Tapi kenyataannya, seluruh lapisan masyarakat Libanon malah mendukung Hizbullah.

Dalam hal ini, menurut konsultan pemerintah AS, Israel ingin mencontoh apa yang telah dilakukan pasukan NATO dalam konflik di Kosovo. Dalam konflik tersebut, pasukan NATO di bawah Jnderal militer AS, Wesley Clark, membombardir dan menghancurkan bukan hanya target-target militer, tapi juga lorong-lorong, jembatan dan jalan-jalan di Kosovo dan Serbia selama 78 hari sebelum akhirnya berhasil memaksa pasukan Serbia mundur dari Kosovo.

Sumber tadi mengatakan, Israel bilang pada Rice,"Anda melakukan ini sekitar 70 hari, tapi kami hanya perlu setengahnya saja, 35 hari."

Pada kenyataannya, Israel gagal melumpuhkan Hizbullah meski sudah sebulan membombardir Libanon. Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan dan foto-fotonya dipasang di seluruh negara-negara Arab.

Analis dari Naval Postgraduate School, John Arquilla pada Hers mengatakan, "Strategi bombardir selama 90 tahun sudah menjadi konsep yang salah dalam kemiliteran, tetapi pasukan udara di berbagai dunia tetap melakukannya."

Sekarang makin meningkatnya sikap anti Israel, sejalan dengan makin populernya kepemimpinan Hassan Nasrallah. (ln/iol)