Eramuslim – DALAM masalah internasional khususnya yang terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), negara-negara di dunia pada umumnya menyikapinya dengan menggunakan tiga kriteria.
Pertama, isu dipandang sebagai murni sebagai persoalan kemanusiaan, yang menggugah nurani setiap insan sehingga menggerakkannya untuk menolong atau membelanya, bila ada hak-hak dasar manusia yang dilanggar, seperti hak untuk hidup, hak untuk memperoleh rasa aman, hak untuk beribadah, dan hak-hak mendasar lainnya sebagaimana dirinci dalam 30 artikel pada Universal Declaration of Human Rights yang dijadikan pegangan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Kedua, kondisi setiap negara terkait berbagai kebijakan di dalam negeri yang diambilnya. Negara-negara yang banyak melanggar HAM tentu akan sulit sekali untuk menyikapi pelanggaran HAM di negara lain.
Ketiga, implikasi sikap terhadap negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Sikap terhadap isu kemanusiaan bisa saja berimplikasi baik langsung maupun tidak langsung sebagai bentuk balasan, terhadap kebijakan ekonomi, politik, maupun militer. Mengingat tidak jarang isu HAM dimainkan oleh suatu negara atau sejumlah negara untuk mendapatkan konsesi ekonomi maupun politik.
Akumulasi dari tiga variabel inilah pada umumnya sebuah negara menyikapi isu terkait HAM yang muncul di suatu negara. Meskipun seringkali terjadi antara sebuah negara dengan negara lain berbeda dalam menempatkan variabel mana yang dominan.