Gejolak perang yang berkecamuk di Irak selama hampir tiga dekade, mulai dari pemerintahan otoriter Saddam Hussein, invasi dan penjajahan pasukan asing dibawah komando AS dan pertikaian antara kelompok militan, menyisakan penderitaan tersendiri bagi kaum wanita dan anak-anak di Negeri 1001 Malam itu. Banyak para isteri yang menjadi janda karena kehilangan suaminya dan jutaan anak-anak Irak yang menjadi kehilangan ayahnya.
Kantor kementerian urusan perempuan Irak mempekirakan hingga awal tahun 2009 kemarin jumlah janda di Irak mencapai satu juta orang. Namun Pejabat Menteri Urusan Perempuan, Narmeen Othman mempekirakan jumlahnya kemungkinan lebih besar dari itu, sekitar dua juta orang.
Menurut Othman, meski dinilai keras dan kejam, para janda pada masa pemerintahan Saddam Hussein mendapatkan perhatian serius dari negara. Berbeda dengan kondisi sekarang. Para janda itu harus berjuang sendiri dan posisinya rawan. Mereka bukan hanya harus mengatasi kesedihan dan penderitaan akibat ditinggalkan orang-orang yang dikasihi tapi juga harus bekerja keras menghidupi dan membesarkan anak-anak mereka.
Ibarat api di dalam sekam, problem kehidupan yang dihadapi para janda di Irak dari sisi budaya seperti bom waktu yang tinggal menunggu saja kapan meledaknya. Di kota Baghdad, terdapat sebuah lembaga amal Al-Ethar yang menyantuni para janda dan keluarganya. Lembaga ini juga membantu mencarikan suami bagi para janda yang berniat menikah lagi.
Direktur Al-Ethar, Hana Badrani mengungkapkan, lembaganya mendaftar sekitar 2.000 janda dengan total jumlah anak-anak keseluruhan mencapai 7.000 orang. Para suami dan ayah mereka kebanyakan terbunuh akibat aksi-aksi kekerasan. Sebagian besar para janda itu membutuhkan bantuan karena mereka tidak punya ketrampilan yang bisa membantu mereka untuk mencari pekerjaan.
Diantara para janda itu, ada yang menikah lagi dan bisa memulihkan kehidupan mereka. Tapi ada juga yang belum menemukan pasangan hidupnya yang baru dan harus menghidupi anak-anaknya.
Umi Fatima misalnya, meyakini bahwa akan lebih baik baginya dan anak-anak jika ia menikah lagi. Suami Fatima yang bekerja sebagai sopir taxi, tewas ditembak oleh sekelompok orang berseragam saat sedang mengisi bensin. Kematian suami, berarti hilang pula satu-satunya sumber nafkah bagi Fatima dan empat anak-anaknya.
"Seorang ayah, akan membuat kami lebih aman baik secara finansial maupun emosional. Anak-anak merindukan ayahnya. Kadang ketika mereka melihat sosok lelaki seperti ayahnya, mereka suka minta dipeluk," kata Fatima tentang niatnya menikah lagi.
Menurut Edwar, tidak semua wanita Irak yang menjadi janda menginginkan pernikahan lagi, "Sebagai manusia yang bermartabat, kaum wanita selayaknya bersikap bahwa mereka mampu melakukan apa yang bisa dilakukan kaum lelaki. Mereka harus mampu melindungi anak-anak tanpa kehadiran seorang lelaki di dalam keluarga," tukas Edwar.
Aktivis perempuan seperti Edwar bisa dengan mudahnya melontarkan pendapat bahwa kaum perempuan tidak perlu bergantung pada laki-laki. Tapi faktanya, banyak para janda di Irak yang memang ingin menikah lagi dan banyak anak-anak di Irak yang merindukan kehadiran seorang ayah.
Sebuah kerinduan yang wajar, yang tumbuh dari dalam jiwa manusia yang mendambakan kehangatan keluarga dan keinginan untuk berbagi kasih sayang dengan sesama manusia. (ln/bbc)