Jalur politik melalui sistem demokrasi, diakui atau tidak, ternyata bisa berperan efektif untuk membumikan syariat Islam. Ini setidaknya terlihat dari kemenangan partai politik berakar pemikiran Islam, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki.
Setelah kemenangan telak dalam pemilu terakhir bulan lalu, sejumlah rancangan kebijakan di level legislasi hukum di negeri sekuler tersebut, mulai diupayakan melalui langkah revisi undang-undang. Dan target utama, pemerintahan Erdogan adalah, melegalkan Muslimah memakai jilbab di Turki sekaligus menghapus undang-undang sekuler yang anti jilbab.
Rencana ini dijadwalkan bakal diajukan ke sidang parlemen Turki sekaligus akan menyerap masukan dari masyarakat Turki. Selama ini, Turki melarang wanita Muslimah berjilbab untuk masuk sekolah, kampus, dan dilarang bekerja di institusi pemerintah Turki. DR. Orgon Ozbedon, kepala tim persiapan draft undang-undang Turki yang baru dalam fraksi Partai Keadilan dan Pembangunan mengatakan, “Draft revisi undang-undang ini bila disetujui akan menghapus larangan Muslimah memakai jilbab di sekolah maupun kampus. Selain itu juga akan membebaskan para pengguna jilbab secara umum untuk bisa bekerja di institusi resmi pemerintah. ”
Dijelaskan lebih lanjut bahwa, draft undang-undang yang dimaksud terdiri dari dua poin penting. Yakni, menghapus larangan berjilbab bagi para pelajar, mahasiswi dan pegawai pemerintah dengan kalimat “tidak melarang pelajar putri dan mahasiswi dari hak belajar karena sebab pakaian. ” Dan yang kedua, jelas Ozbedon, draft ini berisi teks “kebebasan menggunakan pakaian di institusi perguruan tinggi”. Menurut harian Turkish Daily News, Partai Keadilan dan Pembangunan sebagai partai pemerintahan Turki saat ini akan mengambil salah satu dari dua poin inti draft revisi yang telah dibuat tersebut.
Sementara itu, Dr. Muhammad Nuruddin, pakar masalah Turki sekaligus Kepala Kajian Strategis di Libanon mengatakan bahwa langkah AKP sudah sangat tepat. Menurutnya, undang-undang yang melarang mahasiswi berjilbab dan pegawai negeri perempuan untuk bekerja, itu telah membuat ratusan ribu perempuan berjilbab di Turki tidak dapat meneruskan aktifitas belajar karena mereka dipaksa melepaskan jilbab. “Sebagian muslimah ada yang terpaksa melepaskan jilbab saat masuk wilayah kampus dan memakai jilbab kembali saat keluar kampus, ” ujarnya.
Menurut Nuruddin juga, apa yang dilakukan Erdogan dalam hal ini adalah menyuarakan suara mayoritas perempuan Turki berjilbab. Apalagi, tidak ada teks undang-undang yang melarang masuknya perempuan berjilbab di parlemen Turki, sedangkan di perguruan tinggi dilarang. Perlu diketahui, dalam pendulangan suara pada pemilu tanggal 22 Juli lalu, AKP mengajukan banyak perempuan berjilbab sebagai calegnya. Dan tak ada sanggahan dari Komite Pemilu terhadap pencalegan perempuan berjilbab.
Proses revisi undang-undang di Turki menggariskan hal itu baru bisa dilakukan setelah ada semacam referendum dari rakyat Turki. Dan rencananya, proses referendum terkait revisi undang-undang anti jilbab itu bakal dilaksanakan pada 21 Oktober mendatang. Termasuk di dalamnya, materi penting yang akan menjadikan pemilu presiden dilakukan secara langsung, tidak melalui parlemen sebagaimana sebelumnya. (na-str/iol)