Sara K. yang kini berusia 20 tahun lahir di Berlin, Jerman. Ayahnya asal Aljazair dan ibunya seorang Jerman yang masuk Islam. Ia dibesarkan dalam keluarga muslim, kedua orang tuanya tidak begitu senang jika Sara aktif dalam bidang olahraga dengan alasan olahraga tidak pantas untuk seorang muslimah.
Karena sikap orang tuanya, selama bertahun-tahu Sara harus sembunyi-sembunyi berlatih sepakbola dan bola basket, dua cabang olahraga yang digemarinya. Sara mengungkapkan, ia merasa "enteng dan mandiri" saat berolahraga. Oleh sebab itu, mulai sekarang, Sara tidak mau merahasiakan lagi aktivitasnya di bidang olahraga pada kedua orang tuanya. Sara berharap orang tuanya bisa menerima kegemarannya berolahraga.
"Saya ingin bebas," kata Sara pada situs Der Spiegel saat ditemui di sebuah tempat olahraga di Kreuzberg, Berlin, sebuah kota yang menjadi basis komunitas imigran dan orang-orang Jerman keturunan negara asing.
Banyak atlet-atlet Jerman yang berasal dari keluarga imigran, tapi cuma sedikit muslimah Jerman yang terjun ke bidang olahraga. Banyak orang tua muslim di Jerman yang memandang olahraga adalah budaya Barat, dan melarang anak-anak perempuan mereka untuk aktif di klub-klub olahraga.
Der Spiegel edisi Kamis (16/6), dalam sebuah artikelnya menyebutkan, 68 persen anak-anak berusia 15 tahun dari keturunan muslim Turki, aktif dalam klub-klub olahraga. Lebih dari 30 persen pemain sepakbola berusia dibawah 17 tahun yang tergabung dalam tim sepakbola Asosiasi Sepakbola Jerman, adalah muslim keturunan Turki. Anak lelaki muslim lebih dibebaskan oleh orangtuanya untuk aktif di bidang olahraga, mulai dari sepakbola, gulat sampai bela diri.
Tapi kondisinya jauh berbeda dengan anak-anak perempuan. Para orang tua, khususnya yang berlatar pendidikan minim, mengatakan pada anak perempuannya bahwa olahraga hanya membuang-buang waktu saja dan klub-klub olahraga bukan tempat untuk seorang muslimah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Teknik di Dortmund pada tahun 2009 menyebutkan, hanya 20 persen dari remaja putri muslim keturunan Turki yang di Jerman, yang ikut dalam sebuah klub olahraga. Sedangkan prosentase remaja putri di Jerman umumnya yang ikut dalam klub olahraga, mencapai 42 persen.
Gabriele Kremkow, guru olahraga di sekolah menenganh Carl-von-Ossietzky di Kreuzberg mengatakan, pada usia remaja, baik putra maupun putri, mereka senang bergerak, melakukan aktivitas fisik. Di sekolahnya, kata Kremkov, olahraga menjadi mata pelajaran wajib, termasuk untuk siswi muslim.
"Orang tua yang muslim mentolerir pelajaran olahraga, tapi dengan persyaratan," ujar Kremkov.
"Kami memahami, karena alasan agama, banyak remaja putri muslim yang menghadapi kendala untuk berolahraga di depan anak-anak lelaki. Dengan alasan ini, untuk pelajaran olahraga, untuk siswa kelas tujuh dan kelas 10, dipisah antara lelaki dan perempuan," jelas Kremkov.
"Kami ingin memberikan kesempatan pada para remaja putri, khususnya yang muslim, untuk juga menikmati hidup mereka, terutama bagi yang gemar berolahraga," tukasnya. (kw/DS)