Muslim Uighur Merasa Terasing di Tanah Airnya Sendiri

Warga Muslim China di Xinjiang merasa seperti orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Semua itu akibat kebijakan pemerintah China yang akan menempatkan jutaan orang dari etnis Han ke Xinjiang, wilayah di China yang mayoritas penduduknya Muslim.

Qutub, seorang warga Muslim di Xinjiang merasa pemerintahnya sengaja merusak keseimbangan demografi di wilayah itu, apalagi pemerintah China mewajibkan budaya dan identitas etnis Han diterapkan di Xinjiang. "Mereka menginginkan ras kami lenyap. Mereka berusaha untuk mencerabut akar-akar kami, " kata Qutub yang berprofesi sebagai pedagang di Urumqi, ibukota Xinjiang.

Pemerintah China selama bertahun-tahun berkampanye untuk menempatkan lebih banyak lagi etnis Han China ke Xinjiang. Tahun 1949, ketika pemerintah China mengambil alih Xinjiang, jumlah etnis Han di wilayah itu kurang dari 7 persen dari total populasi. Sekarang, jumlah etnis Han mencapai 40 persen lebih dan jumlah mereka terus bertambah.

Pada tahun 1955, Xinjiang menjadi daerah otonom dengan jumlah warga Muslim sekitar delapan juta orang. Meski sudah menjadi daerah otonom, pemerintah China kerap melakukan kebijakan keamanan yang keras terhadap warga Muslim Uighur. Bagi pemerintah China, provinsi Xinjiang dianggap sangat strategis karena letaknya di dekat Asia Tengah dengan kandungan sumber minyak bumi dan gas yang sangat besar.

Muslim Uighur mengeluh, karena etnis Ham membawa budaya dan kebiasaan mereka ke provinsi yang didominasi warga Muslim itu. Etnis Han juga menguasai perusahaan-perusahaan besar yang hanya mempekerjakan pegawai dari etnisnya sendiri, dan hanya memberikan pekerjaan kasar pada kalangan Uighur.

Masyarakat Uighur diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, bahkan dialek bahasa mereka dilarang di sekolah-sekolah dan hanya sedikit sekali orang Uighur yang bekerja di departemen-departemen pemerintah.

"Kami merasa seperti orang asing di tanah air kami sendiri. Kami seperti orang-orang Indian di Amerika, " keluh Batur, seorang Uighur yang bekerja sebagai guru.

Hal yang paling dikhawatirkan Muslim Uighur adalah berlanjutnya kampanye pemerintah China untuk menekan warga Muslim. Banyak masjid dan sekolah-sekolah agama yang ditutup dengan alasan tidak memiliki izin. Pemerintah China juga mengeluarkan kebijakan yang melarang pemuda Muslim yang berusia di bawah 18 tahun, salat di masjid.

Baru-baru ini, menurut para aktivis hak asasi, pemerintah China bahkan mengeluarkan kebijakan yang melarang pegawai kantor pemerintahan di wilayah itu pergi ke masjid, melarang para guru memelihara janggut dan melarang mahasiswa membawa al-Quran ke lingkungan kampus.

"Tidak ada lagi kebebasan beragama di sini, " kata seorang petani kapas di desa Kucha.

Di desa itu, belum lama ini aparat keamanan menangkap 50 orang laki-laki karena belajar di sekolah agama yang dikelola swasta. Di dinding masjid Ochre yang dibangun sejak abad ke-16, pemerintah China membentangkan spanduk berwarna merah dengan tulisan "Lawan Aktivitas Keagamaan yang Ilegal." Dan di dalam ruangan masjid, terdapat tulisan yang berisi daftar hal-hal yang dilarang, antara lain dilarang membicarakan jihad dan pan-Islamisme.

Pemerintah beralasan, tindakan keras terhadap Muslim Uighur sebagai upaya untuk mengantisipasi munculnya separatisme dan terorisme. "Kalau Anda makin relijius, pemerintah akan sangat khawatir, " kata petani kapas tadi.

Pernyataan itu dibenarkan peneliti dari organisasi internasional Human Right Watch, Nicholas Bequelin. Ia mengatakan, pemerintah China memandang semua kegiatan keagamaan diluar kerangka resmi pemerintah, adalah kegiatan terorisme dan separatisme. Human Rights Watch sebenarnya sudah lama menyatakan bahwa pemerintah China melakukan penindasan terhadap warga Muslim Uighur. (ln/iol)