Warga Muslim tidak banyak berharap atas pelaksanaan pemilu yang akan berlangsung pekan depan di Thailand. Mereka tidak yakin hasil pemilu akan mengubah kondisi mereka dan akan mengurangi tindak kekerasan yang kerap mereka alami.
"Mereka semua mengatakan bahwa mereka akan lebih banyak lagi mengikutsertakan warga Muslim dalam pemerintahan-pemerintahan lokal, memberikan lebih banyak lagi kesempatan pendidikan bagi warga Muslim dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Tapi janji-janji tidak ada yang terealisasi, " kata Sunai Phasuk, konsultan untuk organisasi Human Rights Watch.
Thailand akan menggelar pesta demokrasi pada hari Minggu (23/12), untuk memilih anggota parlemen yang baru. Pemilu ini, merupakan pemilu pertama sejak tumbangnya pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada September 2006 lewat kudeta tak berdarah. Sekitar 40, 8 juta warga Negeri Gajah Putih itu akan memberikan suaranya dalam pemilu tersebut.
Ada dua partai kuat di Thailand yaitu Partai Demokrat dan Partai Kekuatan Rakyat yang pro-Thaksin. Namun dalam pemilu kali ini, partai-partai lainnya diharapkan mampu mendapatkan suara mayoritas.
Meski demikian, Sunai menilai partai-partai itu tidak ada yang menawarkan pendekatan baru dan segar untuk memecahkan krisis di kawasan Thailand Selatan yang didominasi warga Muslim.
Di Thailand Selatan terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya Muslim, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat. Satu abad yang lalu, ketiga wilayah ini dulunya merupakan wilayah kesultanan Muslim yang independen, lalu secara formal dianeksasi dan menjadi bagian dari wilayah negara Thailand. Pada masa aneksasi itu tidak kurang dari 2. 700 warga Muslim tewas.
Jumlah warga Muslim di Thailand Selatan sekitar 13 juta dari 65 juta total populasi penduduk Thailand. Mereka hidup dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang lambat dan diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah Thailand, terutama dalam lapangan pekerjaan dan pendidikan.
PM Thaksin pada masa pemerintahannya memberlakukan kebijakan tangan besi pada warga Muslim di Thailand Selatan. Begitu pemerintahan Thaksin tumbang dan digantikan oleh militer, pemerintah Thailand melakukan sejumlah upaya perdamaian bahwa mereka sempat minta maaf atas perlakuan pemerintahan sebelumnya terhadap warga Muslim.
Tapi kekerasan demi kekekerasan terus terjadi. Sejak September 2006, rata-rata 72 orang tewas setiap bulannya akibat insiden-insiden kekerasan. Kondisi ini membuat warga Muslim selalu dirundung ketakutan.
"Saya harus selalu waspada setiap waktu. Sekarang, saya tidak pernah lagi keluar malam, " kata seorang warga Muslim Yala.
"Pemerintahan yang melakukan kudeta tidak mampu memecahkan kekerasan di Selatan, oleh sebab itu saya tidak berharap banyak pada pemerintahan baru bahwa mereka bisa melakukan hal yang lebih baik, " kata warga Muslim lainnya, Mia Wadeng.
"Saya pesmisi. Tidak perubahan dalam masalah keamanan. Tak seorang pun tahu akar dari persoalan di sini, " kata Korlet Jae-ware.
Sementara itu, seorang tokoh agama Budha, Sanpet Deelertphaibul berharap pemerintahan baru melakukan terobosan untuk meningkatkan kepercayaan antara warga Muslim dan Budha.
"Siapa pun yang memenangkan pemilu, prioritas pertama dari pemerintahan baru adalah membangun hubungan harmonis antara warga penganut Budha dan warga Muslim, " tukasnya. (ln/iol)