Di tengah perhatian dunia pada perjuangan gerakan pro demokrasi di Myanmar melawan pemerintah junta militer, keberadaan warga minoritas Muslim di negeri itu seolah terabaikan. Sebagai warga minoritas, warga Muslim Myanmar sudah sejak lama mereka mengalami diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang.
Pakar wilayah Asia Selatan di Komisi Hak Asasi Manusia Asia Nick Cheesman mengatakan, warga Muslim di Birma (nama lama Myanmar) tidak diberi hak yang sama seperti warga minoritas lainnya.
"Kondisi mereka sangat buruk, " kata Cheesman.
Jumlah warga Muslim Myanmar sekitar lima persen dari total populasi negeri itu yang jumlahnya lebih dari 50 juta orang. Warga minoritas Muslim di Myanmar kebanyakan berasal dari etnis Bengali, yang lebih dikenal dengan nama Rohingya. Sebagian lagi Muslim Myanmar, berasal dari keturunan Muslim India yang tinggal di Yangon, serta etnis Muslim China yang dikenal dengan nama Panthay.
Rohingya kebanyakan tinggal di sebelah utara propinsi Rakhine, dan merupakan salah satu dari tujuh kelompok etnis minoritas yang diakui oleh konstitusi Myanmar tahun 1974. Namun amandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya sehingga mereka dianggap sebagai imigran ilegal di tanah air mereka sendiri.
Padahal, Muslim Rohingya memiliki sejarah panjang perjuangan mereka melawan junta militer di Myanmar. Mereka berjuang melawan berbagai pembatasan dan pengebirian hak-hak dasar mereka sebagai warga negara Myanmar.
Menurut Amnesty Internasional yang berbasis di London, warga minoritas Rohingya kerap dipaksa kerja sebagai buruh di jalan-jalan dan di kamp-kamp militer. "Mereka juga dibebani dengan berbagai bentuk pajak dan pembatasan di sektor keuangan dan perkawinan. Selain itu, tanah-tanah mereka dirampas dan rumah-rumah mereka dihancurkan, " demikian laporan Amnesty Internasional.
Saat ini, ada sekitar 20. 000 Rohingya yang tinggal di dua kamp pengungsi PBB di dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Dan sekarang, melihat kekejaman pemerintahan junta militer Myanmar terhadap pada pengunjuk rasa, Sirajul Islam-seorang Muslim Myanmar-teringat kembali pada masa-masa pahit ketika ia juga berjuang melawan pemerintahan junta militer.
Sirajul yang kini berusia 51 tahun, kini harus meninggalkan tanah airnya karena terus diburu aparat militer setelah membantu mengorganisir aksi unjuk rasa anti-pemerintah tahun 1988.
Selama lima bulan menjadi buronn dan tinggal di gunung-gunung, Sirajul yang seorang pakar zoology ini, mengungsi ke Bangladesh bersama eksodus ratusan ribu orang Myanmar lainnya.
"Tak seorang pun yang bisa membantu saya. Saya harus berpindah-pindah tempat, karena aparat militer mencari saya dari rumah ke rumah, " kisah Sirajul yang kini tinggal di sebuah kota Pecinan bernama Ruili.
Sirajul mengungkapkan, pihak militer secara brutal melawan para pengunjuk rasa dan diperkirakan sekitar 3. 000 orang tewas dalam aksi massa berdarah itu. "Saya bahkan tidak tahu di mana teman-teman saya dikuburkan, " katanya sambil berlinang air mata.
Selama 16 tahun Sirajul menjadi salah satu dari 100. 000 pengungsi Myanmar yang kini tinggal di Bangladesh. Ia bergabung dengan kelompok pejuang, yang suatu saat nanti akan kembali ke tanah airnya untuk berjuang melawan para penindas. Namun kelompok pejuangnya dibubarkan oleh pemerintah Bangladesh.
Sekarang, Sirajul memilih berdagang dan membuka toko perhiasan di Ruili. Ia mengadu nasib bersama dengan 10. 000 pedagang asal Myanmar lainnya, yang kebanyakan Muslim.
Mereka terus mengikuti apa yang terjadi di negaranya saat ini. "Apa yang terjadi di Myanmar sangat buruk, " kata seorang Muslim Myanmar di sebuah masjid di Ruili yang dibangun pada tahun 1993.
"Saya bukan seorang pedagang. Saya ingin berjuang untuk rakyat saya, tapi tidak ada yang bisa saya lakukan dari sini, " ujarnya sedih. (ln/iol)