Puluhan Muslim Myanmar mengadakan aksi protes yang jarang terjadi di kota terbesar negara itu pada hari Selasa kemarin (5/6) untuk menuntut keadilan bagi sembilan peziarah yang dibunuh oleh massa Buddha dalam serangan yang telah menimbulkan ketegangan komunal di wilayah tersebut.
Demonstrasi di sebuah masjid di pusat kota Yangon berlangsung damai dan berakhir menjelang malam, namun setidaknya enam truk penuh dengan polisi dikerahkan untuk mengawasi jalanya aksi,
Beberapa demonstran memperlihatkan gambar mayat yang berlumuran darah dari sembilan Muslim yang tewas pada hari Minggu lalu di Taunggoke di negara bagian barat Rakhine. Kemarahan warga Budha meletus terkait atas perkosaan dan pembunuhan seorang wanita Budha yang konon dilakukan oleh sekelompok pemuda Muslim.
Myanmar didominasi umat Buddha dan banyak anggota mayoritas masyarakat membenci anggota kelompok minoritas keturunan dari orang-orang dari Asia Selatan, yang kebanyakan adalah Muslim.
Para demonstran Muslim menuntut keadilan, beberapa berteriak “kebebasan beragama” dan “pembasmian terorisme”, merujuk pada serangan pada bus yang penuh dengan Muslim, yang terjadi setelah selebaran dibagikan mendesak penuntutan balas atas kematian wanita muda itu.
Aktivis hak asasi manusia dan beberapa warga Taunggoke mengatakan pada hari Minggu mereka yang tewas adalah Muslim peziarah yang mengunjungi Rakhine, tidak ada hubungannya dengan mereka yang disalahkan karena membunuh wanita itu.
Aksi protes jarang terjadi di Myanmar, di mana perbedaan pendapat ditindas dalam lima dekade pemerintahan militer, yang berakhir 15 bulan yang lalu. Sejak pergantian rezim, semonstrasi disahkan, meskipun dengan banyak pembatasan.
Pejabat kepolisian, Letnan Kolonel Thet Lwin,yang bertugas menangani kasus ini, menyatakan polisi dikerahkan untuk mencegah hal-hal tak diinginkan, bukan membatasi demonstrasi. “Masalah ini tak ada kaitan dengan SARA. Semua warga negara berhak atas hak yang sama,” katanya kepada wartawan.
Pelaporan media resmi tentang insiden tersebut juga menjadi perdebatan, bahkan memunculkan kemarahan baru baik di kubu Muslim maupun Budha. Media menggunakan kata slang “Kalar” untuk menyebut umat Islam. Kata itu berarti “tamu” dan dianggap menghina untuk orang-orang keturunan Asia Selatan di Myanmar. Mereka umumnya pendatang dari India yang dibawa ke negeri itu di bawah pemerintahan kolonial Inggris.
Ko Mya Aye, seorang Muslim yang dipenjara karena terlibat dalam pemberontakan mahasiswa pro-demokrasi tahun 1988 mendesak para demonstran untuk membubarkan untuk menghindari konfrontasi.
“Kita seharusnya tidak melakukan sesuatu yang akan membuat situasi sekarang kembali ke titik awal,” katanya. Ia mengkritik media untuk santun menuliskan pemberitaan, bukan malah “menambahkan bensin ke atas bara api”.
Departemen Informasi, yang mengawasi media pemerintah, telah memerintahkan penghapusan istilah kontroversial dari situs web malam ini.(fq/reu)