Tambah suram bila militer mendapat kekuasaan lebih
Ronan Lee, seorang pengamat dari International State Crime Initiative – komunitas yang meneliti dokumen kejahatan negara – mengatakan kondisi Muslim di Myanmar khususnya warga Rohingya akan “tetap suram.”
Lee mengatakan kondisi Muslim Rohingya akan semakin parah bila junta mendapatkan kekuasaan lebih.
Ia mengatakan, seperti dikutip South China Morning Post, mereka “sangat rentan atas penyiksaan lebih lanjut oleh militer.”
Lee, yang juga penulis buku Myanmar’s Rohingya Genocide: Identity, History and Hate Speech, mengatakan sering matinya internet dan penahanan para wartawan juga membuat kondisi lebih sulit untuk mengangkat nasib warga Rohingya.
Nasir Zakaria, direktur eksekutif Rohingya Culture Centre yang berkantor di Chicago, Amerika Serikat, memperingatkan bahwa warga Muslim Rohingya berada “di ambang bahaya besar.”
“Tidak ada cara untuk melindungi mereka. Militer sangat kuat. Orang Rohingya bisa ditahan, dibunuh, diculik dan diperkosa,” kata Nasir.
Sementara Ronan Lee mengatakan kekejaman yang dihadapi warga sipil Rohingya pada 2017 termasuk pembunuhan, penahanan, perkosaan dan mereka sama sekali tak berdaya menghadapi tentara dengan senjata lengkap.
Lee mengatakan sekitar 140.000 warga Rohingya dikumpulkan di kamp konsentrasi di negara bagian Rakhine, tempat mereka dipaksa tinggal sejak 2012.
Ia mengatakan mereka yang berada di luar kamp menjalani apa yang ia sebut “sistem aparteid” dengan pembatasan bergerak termasuk ke desa-desa sekitarnya, akses pendidikan, kesehatan dan bekerja juga terbatas.
“Genosida yang didokumentasikan oleh PBB tak berubah banyak dalam tahun-tahun terakhir ini dan di desa-desa Rohingya terlihat kemiskinan dan ketakutan terhadap militer,” kata Lee mengacu pada laporan PBB pada 2019 tentang kondisi Rohingya.
Dalam laporan itu PBB menyimpulkan terjadi “risiko serius aksi genosida akan kembali terjadi.”
Sejak kudeta 1 Februari lalu, para pengamat mengatakan mayoritas etnis Bamar lebih bersimpati atas nasib warga Rohingya.
Salah satu kelompok sipil bulan lalu bahkan berjanji untuk mencari keadilan bagi kelompok minoritas itu. Tetapi tak banyak yang mereka lakukan untuk melindungi Rohingnya dari militer.
Nay San Lwin, pendiri Free Rohingya Coalition – jaringan global para aktivis Rohingya – menyatakan kekhawatiran bahwa pemimpin militer Min Aung Hlaing, yang merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, akan meluncurkan kekerasan lagi terhadap warga Rohingya.
“[Min Aung Hlaing] pernah mengatakan bahwa krisis Rohingya adalah masalah yang belum selesai sejak Perang Dunia II,” kata Nay San Lwin.
Bagi Daw Zi dan teman-temannya, anak-anak muda Myanmar, di tengah ketidakpastian ini, ia hanya mengatakan, “Kami tak tahu apa yang akan terjadi namun kami tetap ingin demokrasi untuk kebebasan.” [Suaracom]