Gagalnya rencana aksi pengeboman sejumlah pesawat komersil di bandara Inggris seperti diklaim negara itu beberapa waktu lalu, menimbulkan dampak ‘phobia’ di bandara-bandara bukan hanya di Inggris saja. Di Spanyol, dua penumpang pesawat menjadi korban ketakutan yang berlebihan itu. Kasus ini, bahkan sampai memicu kecaman dari para pemuka Islam di Inggris.
Peristiwa ini terjadi sepekan lalu di bandara Malaga, Spanyol pada dua penumpang Monarch Airlines yang akan berangkat menuju kota Manchester, Inggris. Juru bicara maskapai penerbangan itu menyatakan, sekitar 150 penumpang meminta pihak Monarch Airlines untuk memindahkan dua penumpang yang tingkah lakunya mencurigakan.
Menurut keterangan jubir tadi pada Minggu (20/8), dua penumpang itu mengenakan jaket kulit, sweater tebal dan berbicara dengan bahasa yang diyakini sebagai bahasa Arab. Kedua penumpang itu berwajah Asia dan terlihat berulang kali melihat jam tangannya.
Karena kecurigaan dan ketakutan para penumpang, kru pesawat kemudian melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang di bandara Spanyol. Kedua penumpang yang dicurigai tadi kemudian dibawa keluar pesawat dan diinterogasi polisi. Karena kecurigaan tidak terbukti, keduanya dibebaskan dan dibolehkan terbang ke Manchester. Sesampainya di tempat tujuan, keduanya juga tidak ditangkap oleh polisi Inggris.
Terungkapnya kasus ini, dikecam oleh para pemuka Muslim di Inggris yang menganggap kecurigaan pihak bandara Spanyol terhadap dua penumpang itu, hanya berdasarkan pada warna kulit dan etnis.
"Saya pikir, apa yang terjadi adalah sesuatu yang sangat tidak rasional. Setiap orang perlu mengembalikan cara berpikirnya dengan normal," kata anggota parlemen Muslim, Khalid Mahmud seperti dikutip surat kabar The Guardian, edisi Senin (21/8).
"Anda tidak bisa menuduh setiap orang yang memiliki raut wajah Asia dan memperlakukan mereka seperti seorang teroris. Setiap orang sebaiknya tenang. Histeria tidak akan memberikan kebaikan bagi siapapun," kata Mahmud, warga Muslim Inggris pertama yang menjadi anggota parlemen.
Ia menyatakan, tindakan para penumpang yang memberikan label sendiri pada penumpang lainnya merupakan tindakan yang ‘benar-benar memalukan.’
"Itu bukanlah hal yang kita inginkan. Warna kulit anda tidak serta merta menunjukkan siapa anda. Sangat menyedihkan hal semacam itu bisa terjadi," ujarnya.
Mahmud meminta para penumpang pesawat untuk memahami, bahwa begitu seseorang dibolehkan melewati pos pemeriksaan. mereka seharusnya tidak perlu khawatir.
"Kita semua pantas bersikap waspada, tapi sangat tidak pantas menciduk seorang Muslim hanya karena kebetulan mereka mengenakan pakaian yang agak berbeda dan nampak berbicara dalam bahasa Arab," tambah Muhammad Abdul Bari, Ketua Muslim Council of Britain.
‘Perang’ terhadap Warga Muslim
Sebelumnya, warga Muslim di Inggris juga mengecam rencana pemerintah yang akan memeriksa para penumpang di bandara berdasarkan agama dan asal etnisnya. Mereka menyebut kebijakan itu sebagai ‘teror’ yang mengarah pada rasialisme.
David Reynolds dari Asosiasi Pilot maskapai penerbangan Inggris mengungkapkan, ada prosedur yang sangat ketat untuk memastikan bahwa hanya ‘orang-orang yang berhak’ yang dibolehkan masuk ke pesawat. Jadi, seharusnya tidak perlu timbul kecurigaan dari penumpang yang menilai penumpang lain ‘tidak boleh terbang.’
Menurut laporan surat kabar The Sunday Times edisi Minggu (20/8) para ahli dari AS memberikan pelatihan pada para petugas keamanan di Inggris untuk memantau perilaku para penumpang di bandara. Pemantauan itu meliputi percakapan, gerak-gerik tubuh dan ekspresi wajah.
Terkait dengan insiden pengusiran dua penumpang dalam penerbangan Monarch Airlines, Islamic Human Rights Commission menyatakan bahwa insiden tersebut menunjukkan masih tingginya sikap ‘Islamophobia’.
Insiden itu menurut Ghayasuddin Siddiqui dari Muslim Parliament of Britain, merupakan insiden yang ‘mengejutkan dan menyedihkan’. Ia mengingatkan, insiden ini bisa memicu anggapan bahwa perang global melawan terorisme adalah perang terhadap umat Islam dan Islam.
"Bahaya yang paling besar adalah, para ekstrimis berhasil meyakinkan umat Islam dan Arab bahwa perang melawan terorisme adalah bukanlah perang melawan terorisme itu sendiri tapi perang terhadap Islam dan umat Muslim," ujar Siddiqui.
Menurutnya, satu-satunya cara untuk mencegah munculnya potensi ancaman teroris adalah kerja para intelejen yang harus ditingkatkan. (ln/iol)