Sekitar 3.000 Muslim Filipina berunjuk rasa memprotes keikutsertaan tentara AS dalam latihan militer dengan tentara Filipina di Pulau Mindanao. "Ini menakutkan. Pemerintah Arroyo telah mengizinkan pasukan AS masuk ke Filipinan setelah terjadi kasus perkosaan di Subic," ujar Luz Ilagan, ketua Partai Perempuan Gabriela pada Islamonline, Selasa (17/1).
Dalam kasus perkosaan itu, pengadilan kota Olongapo yang terletak di dekat bekas pelabuhan angkatan laut AS di Teluk Subic, Manila sudah mengeluarkan surat penangkapan terhadap empat anggota pasukan marinir AS atas tuduhan memperkosa seorang gadis Filipina berusia 22 tahun selama berlangsungnya latihan militer bersama antara tentara AS dan Filipina tahun 2005 lalu.
Atas kasus tersebut, AS menolak permintaan Filipina agar empat anggota marinir AS itu diserahkan ke pengadilan kriminal untuk menjalani proses hukum. "Pemerintah AS telah memutuskan akan menahan keempat anggota marinir itu dengan tuduhan telah melakukan kejahatan kriminal berupa perkosaan," demikian pernyataan kedutaan besar AS.
Kasus perkosaan warga Filipina oleh anggota marinir AS ini menjadi sorotan publik dan memicu protes anti AS di kota Olongapo dan Manila. Sejumlah anggota legislatif Filipina mendesak pemerintah untuk membatalkan perjanjian Visiting Forces Agreement (VFA), yang berisi sejumlah kesepakatan latihan militer bersama antara militer Filipina dan militer AS.
Dalam aksi unjuk rasa kemarin, Luz Ilagan menyatakan latihan bersama sebagai upaya memberantas terorisme hanyalah dusta. "AS melihat Filipina, khususnya Mindanao karena kekayaan sumber alamnya dan sebagai basis militer AS yang strategis di Pasifik," katanya.
Luz menegaskan ia akan meneruskan aksi protesnya terhadap kehadiran pasukan AS. "Kami akan memobilisasi lebih banyak lagi orang untuk menunjukkan perlawanan kami terhadap masuknya pasukan AS. Dan kami akan melanjutkan aksi turun ke jalan sampai pemerintah George W. Bush tidak ikut campur urusan negara kami," tegasnya.
Bahayakan Warga Muslim
Kehadiran pasukan AS ke Filipina untuk melakukan latihan militer bersama yang disebut ‘Balikatan’. Latihan bersama itu merupakan agenda tahunan antara militer Filipina dan militer AS. Untuk keperluan latihan tersebut, 3.000 personil militer AS diperkirakan akan tiba di Filipina dan akan menuju Pulau Mindanao pada bulan Februari mendatang.
Kehadiran pasukan AS di Mindanao ini ditolak oleh organisasi Mindanao People’s Peace Movement (MPPM), yang berisi koalisi organisasi-organisasi hak asasi manusia, kelompok-kelompok perdamaian, LSM dan gereja. Mereka menyerukan agar semua pasukan militer di Sulu ditarik.
"Menghadirkan pasukan AS merupakan tindakan yang provokatif, terkait dengan peringatakan 100 tahun Bud Dajo, di mana lebih dari 1.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak di Sulu tewas di tangan tentara AS pada peristiwa tersebut," ujar organisasi tersebut dalam pernyataan resminya.
Suara Bangsamoro, kelompok Muslim di Filipina juga mendesak agar pasukan AS ditarik dari Mindanao. "Kami mendesak penarikan pasukan AS di Mindanao seperti kami meminta dengan tegas penarikan pasukan militer Filipina dari komunitas kami dan menghentikan operasi-operasi militer mereka yang mengabaikan hak-hak bangsa Moro," tegas Amirah Ali Lidasan, sekretaris jenderal Suara Bangsamoro.
Lidasan menyatakan, komunitas Muslim Filipina rentan menjadi korban operasi-operasi militer AS dan Filipina. Mereka mengalami pelecehan dan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya dengan pelabelan bahwa Muslim Mindanao adalah simpatisan dan pendukung kelompok teroris. Belum lagi kampanye anti terorisme yang banyak mengorbankan warga Muslim Filipina yang tak berdosa.
"Komunitas kami sudah sejak lama mengalami penyerbuan dan warga Muslim di sini ditangkapi secara serampangan dengan alasan menumpas terorisme," ujar Lidasan. (ln/iol)