Warga Muslim Filipina kini sedang berharap-harap cemas, akankah wakil rakyat di negeri itu mau mengesahkan undang-undang anti-diskriminasi. Karena keberadaan undang-undang ini secara tidak langsung akan berpengaruh bagi kehidupan mereka sebagai warga minoritas di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik itu.
Seorang pedagang di Manila, Abdulsali Daud berharap anggota legislatif mengesahkan draft undang-undang itu menjadi undang-undang. "Undang-undang itu akan sangat membantu kami, " ujarnya.
Undang-undang anti-diskriminasi mengatur bahwa diskriminasi terhadap warga Muslim, kelompok etnis minoritas dan suku-suku tertentu, merupakan tindakan kriminal. Institusi apapun, seperti restoran, pusat berbelanjaan, sekolah, perusahaan maupun media massa yang melakukan diskriminasi akan dikenai sanksi hukuman mulai dari denda, hukuman penjara sampai pencabutan izin usaha.
Warga Muslim asal Moro, Sakib Maturan memiliki harapan yang sama dengan Abdulsali. "Tapi semua itu sangat tergantung pada perdebatan panjang dan tarik ulur di kongres kita, seperti yang terjadi pada undang-undang lainnya, " kata Maturan yang menjadi pedagang VCD di kota Manila.
"Sekarang, saya hanya berharap mereka memberikan perhatian pada undang-undang ini, " sambungnya.
Sebelumnya, Kongres Filipina sudah sering menerima pengajuan draft undang-undang anti-diskriminasi, namun tidak pernah mendapatkan pengesahan di tingkat komite.
Warga Muslim di Filipina, selama ini kerap menjadi korban diskriminasi dan selalu diidentikkan dengan teroris. "Kami dipandang sebelah mata. Kami disebut ‘teroris’, ‘tukang meledakkan bom’, ‘pembunuh’ dengan begitu mudahnya hanya karena kami Muslim, " kata Abdulsali.
Warga Muslim, tambahnya, banyak yang sulit mendapatkan pekerjaan hanya karena latar belakang agama mereka, meskipun mereka memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Seorang politisi dan pengacara terkenal di Filipina Adel Abbas Tamamo mengecam, situasi yang dinilainya "sangat buruk dan sudah menjadi realita sehari-hari di Filipina. " (ln/iol).