Para peneliti dan cendikiawan di Eropa mengkritik warga Muslim yang dinilai kurang solid menunjukkan keseriusan mereka untuk berintegrasi dengan masyarakat Eropa dan untuk melawan makin meningkatnya sikap Islamofobia.
"Muslim di Eropa masih terpecah belah, " kata seorang aktivis Muslim dan peneliti bidang ilmu politik Guslen Devre, di sela-sela acara International Conference on Muslim Minorities and Issues of Citizenship in Europa yang berakhir hari Minggu (25/11) di Kairo, Mesir.
Perpecahan itu, kata Devre, bahkan terlihat dalam masalah salat. "Di Belanda, warga Muslim asal Maroko tidak akan salat di masjid-masjid yang dibangun oleh komunitas Muslim Turki. Begitu juga dengan Muslim Turki, mereka tidak akan salat di masjid-masjid milik Muslim Maroko, " paparnya.
Perpecahan di kalangan warga Muslim di Eropa menjadi tema sentral konferensi dua hari yang diselenggarakan oleh Center for European Studies (CEUS) yang berbasis di Kairo dan Swedish Anna Lindh Foundation for the Dialogue between Cultures.
"Warga Muslim nomoritas di Eropa tidak akan bisa mendapatkan hak kewarganegaraannya, jika mereka masih terpecah belah. Mereka seperti terbagi ke dalam empat arah mata angin dan kurang memiliki wadah untuk menyampaikan aspirasi mereka, " kata Deputi Direktur CEUS Heba Rauf.
Devre setuju dengan pendapat itu dan mengakui bahwa warga Muslim di Eropa belum memiliki kepemimpinan yang kuat.
Menurut Ana Belen Soaga, mahasiswa bahasa Arab asal Spayol dan peneliti paruh waktu, warga Muslim minoritas di Eropa harus menghapus kesan bahwa mereka kelompok yang terisolasi dan harus keluar dari "tempurung" nya.
"Sebagai contoh, banyak LSM Spanyol yang menawarkan kursus bahasa Spanyol gratis untuk kalangan imigran Muslim, tapi mereka tidak mau mengirim anak-anak mereka ke kursus itu. Bagaimana mereka bisa berbaur, jika mereka tidak menguasai bahasa masyarakat di mana mereka tinggal, " tukas Ana.
Kelemahan warga minoritas Muslim lainnya, menurut para peserta konferensi itu, warga Muslim belum banyak melakukan sesuatu untuk mendapatkan dukungan politik dari lingkungan masyarakatnya.
"Mereka selayaknya tampil dan berpartisipasi dengan lebih efektif dalam panggung politik, " ujar Devre.
Devre menyayangkan masih banyaknya warga imigran Muslim di Eropa yang belum merasa bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Eropa. "Warga Muslim asal Turki di Belanda contohnya, meyakini bahwa suatu saat mereka akan kembali ke Turki, sehingga mereka tidak mau terlibat dalam politik, " imbuh Devre.
Aktivis Muslim asal Jerman, Navid Karmany berpendapat, kondisi itu antara lain disebabkan karena kurangnya peranan kalangan elit Muslim di Eropa. "Kalangan elit Muslim seharusnya menjadi pelopor untuk mendorong warga Muslim agar lebih aktif dalam kegiatan politik dan dalam upaya integrasi ke dalam masyarakat Eropa, " tukasnya.
Karmany menambahkan, warga Muslim seharusnya membuat sebuah institusi untuk mewakili aktivitas politik dan sosialnya, baik dari kalangan relijius maupun sekular.
Meski demikian, para peneliti di konferensi itu menegaskan bahwa integrasi harus dilakukan dua arah, bukan dari sisi warga Muslim saja. Pemerintah maupun masyarakat lokal juga harus berperan aktif dalam upaya integrasi itu.
"Masyarakat Belanda misalnya, bicara soal warga Muslim tapi tidak mau bicara dengan mereka. Masyarakat Belanda ingin warga Muslim berbaur, tapi cara mereka melakukannya sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan warga Muslim, " tandas Devre.
Sementara itu Karmany menilai bahwa pemerintah negara-negara Eropa kadang memandang sebelah mata upaya pembauran yang dilakukan oleh warga minoritas Muslim, terutama yang dilakukan oleh para pemuka agama Islam di Eropa. Salah satu contohnya, pemerintah Jerman masih belum mau mengakui organisasi Coordination Council of Muslim yang menjadi payung bagi sekitar 2. 000 masjid yang ada di Jerman.
Menurut sebuah studi yang baru-baru ini dirilis di Jerman, jumlah warga Muslim di Eropa mencapai 53 juta orang, dan 16 persen di antaranya tinggal di negara-negara anggota Uni Eropa. (ln/iol)