Meski sudah setahun berlalu, dampak peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi di kawasan pesisir pantai Cronulla, Sydney, Australia masih dirasakan warga Muslim di negeri Kanguru itu. Mereka masih hidup dalam ketakutan, hingga harus mengganti nama dan tidak berani keluar rumah sendirian.
Fadi Rahman, pemilik youth center mengungkapkan, banyak anak-anak muda yang masih merasa tertekan dengan peristiwa itu dan merasakan pandangan yang lain dari orang-orang di sekitar mereka.
"Banyak anak-anak muda yang masih enggan ke Cronulla atau pantai-pantai lainnya," kata Rahman seperti dikutip surat kabar Australia, Daily Telegraph edisi Senin (27/11).
Peristiwa kerusuhan rasial yang melanda kawasan Cronulla dan sekitarnya pada tahun 2005 lalu, berawal dari beredarnya pesan melalui sms dan e-mail yang berisi provokasi agar warga kulit putih melakukan perlawanan terhadap "Lebs and wogs"- istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan Libanon.
Menurut cerita yang beredar, pesan singkat itu muncul setelah sejumlah anak muda keturunan Libanon memukul seorang penjaga pantai karena menangkap seorang Muslimah berjilbab yang sedang menikmati suasana pantai.
Setelah pesan itu menyebar, sekitar lima ribu orang berkumpul di Cronulla hingga terjadi bentrokan yang meluas sampai ke kawasan lainnya di sekitar Sydney.
Peristiwa itu seakan mengubah kehidupan warga Muslim yang semula nyaman menjadi tidak tenang karena dihantui ketakutan akan diserang oleh orang-orang yang tidak suka dengan kehadiran mereka.
Sejumlah warga Muslim sampai mengubah namanya dan sebagian lainnya tidak berani lagi keluar rumah sendirian.
"Saat ini, ada dua kelompok anak muda. Ada yang bertindak ekstrim misalnya mengganti nama mereka untuk menyesuaikan diri dan kelompok lainnya yang juga ekstrim dengan mengatakan ‘peduli apa dengan semua itu’, mereka sengaja menjaga jarak dengan masyarakat sekitarnya," tutur Rahman.
Ketidaknyamanan setelah bentrokan rasial di Cronulla, dirasakan oleh Berhan Kassim,14, yang mengatakan hidup jadi "agak keras" selama setahun ini. "Kadang-kadang saya merasa sangat malu keluar rumah karena cara orang memandang saya sudah berbeda dan mereka mengatakan sesuatu pada saya," kata Kassim, warga Muslim keturunan Libanon
Lain lagi pernyataan Khaled El-Syaed dan Shadi Chebib yang sama-sama masih remaja. Mereka mengatakan lebih aman pergi beramai-ramai dengan teman-teman se"gang"nya.
Sementara Lucie El Sayed lebih beruntung, karena wajahnya yang tidak seperti "Muslim" pada umumnya, ia tidak begitu takut untuk pergi ke Cronulla.
"Saya tidak takut kembali ke Cronulla, tapi saya punya beberapa teman yang tidak mau kesana lagi karena mereka khawatir," kata Lucie, mahasiswi akuntansi Universitas Macquarie.
Perpecahan Agama
Mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Fraser termasuk orang yang prihatin melihat situasi yang terjadi. Ia sudah mengingatkan bahwa kebijakan pemerintahan John Howard beresiko menimbulkan "perpecahan agama" di Australia antara warga Muslim dan penganut Kristiani, seperti kebencian penganut Protestan dan Katolik yang terjadi pada masa Perang Dunia I.
"Ini menimbulkan perpecahan yang buruk dan sebenarnya tidak perlu terjadi, antara Islam dan warga masyarakat lainnya," kata Fraser yang pernah tiga kali terpilih sebagai perdana menteri.
Ia menyatakan, pemerintahan Howard selayaknya belajar dari kesalahan mantan perdana menteri pada masa perang dunia pertama, Billy Hughes.
"Sayangnya, mereka-mereka yang berurusan dengan hal ini kelihatannya tidak memahami pengalaman itu. Apa yang kita tidak tahu kadang kita takuti, apa yang tidak kita pahami kadang kita takuti," ujar Fraser.
"Kita seringkali membuat takut kalangan penganut agama lain dan apa yang kita takuti menjadi sebuah ancaman. Politik atas isu-isu ini sudah begitu dalam menggerogoti ketenangan masyarakat Australia," sambungnya.
Jumlah Muslim di Australi meliputi 1,5 persen dari 20 juta total penduduk negeri Kanguru itu. Warga Muslim sudah menetap di Australia sejak 200 tahun yang lalu. (ln/iol)