Setelah mengundurkan diri sebagai presiden Pakistan, Pervez Musharraf disebut-sebut sedang mencari tempat untuk "mengasingkan diri" di Inggris. Sementara itu para analis politik mengatakan, mundurnya Musharraf adalah kehilangan besar bagi Israel, karena Musharraf adalah salah seorang pendukung rezim Zionis Israel.
Informasi bahwa Musharraf kemungkinan akan hijrah ke Inggris sudah beredar luas di London. Sementara di Pakistan, laporan-laporan yang menyebutkan bahwa Inggris adalah satu negara yang menyiapkan skenario "jalan keluar yang aman" bagi Musharraf juga makin meluas. Disebutkan pula bahwa pemerintah Inggrislah yang mendesak pemerintah Pakistan untuk menyepakati imunitas hukum bagi Musharraf sebagai kompensasi mundurnya Musharraf.
Kantor kementerian luar negeri Inggris membantah semua laporan-laporan itu, namun salah seorang sumber di kantor itu mengatakan, tidak ada halangan jika Musharraf memilih untuk tinggal di Inggris. Meskipun saat kunjungan terakhir Musharraf ke Inggris, ia mendapat sambutan aksi massa yang marah karena Musharraf dianggap telah melanggar demokrasi dalam pelaksanaan pemilu di Pakistan.
Pakar Asia Selatan Dilip Hiro menyatakan, negara yang bersedia memberikan tempat bagi Musharraf akan menghadapi banyak kesulitan, antara lain harus menyediakan dana besar untuk keperluan pengamanan bagi Musharraf.
Israel Kehilangan Dukungan
Sementara itu, Mansoor Alam-analis diplomatik senior dan mantan duta besar-mengatakan bahwa mundurnya Musharraf menjadi "kekalahan" besar bagi Israel, karena selama ini Musharraf adalah salah seorang pendukung rezim Zionis Israel dan menjalin hubungan yang cukup intensif dengan para pejabat pemerintah Israel.
"Sanga kecil kemungkinan bagi pengakuan terhadap eksistensi Israel dari pemerintahan Pakistan yang baru. Bahkan jika Musharraf tetap berkuasa, karena akan menghadapi penolakan keras dari publik, " kata Alam yang pernah menjadi Duta Besar Pakistan di negara Mesir, Rusia, Uni Emirat Arab, Mexico dan sejumlah negara lainnya.
Menurut Alam, mayoritas partai-partai koalisi di pemerintahan sudah sangat jelas sikap tentang Israel, mereka tidak akan pernah memikirkan untuk menjalin hubungan, apalagi mengakui Israel. Ia mengingatkan ketika Begum Abida Hussein, mantan duta besar Pakistan untuk AS saat pemerintahan Nawaz Sharif mengajukan usul hubungan diplomatik dengan Israel. Usulan itu, kata Alam, langsung ditulak dan Begum dituntut untuk menarik kembali ucapannya.
Penolakan serupa, menurut Alam, juga akan dilakukan Partai Rakyat Pakistan (PPP)-partai almarhuman Benazir Bhutto. Meski beberapa tahun sebelumnya Bhutto pernah melontarkan wacana tentang keinginannya menjalin hubungan dengan Israel, PPP nampaknya tidak akan mengemukakan wacana itu lagi karena tidak akan mendapat dukungan publik.
Analis lainnya Dr Shameem Akhtar, mantan ketua Departemen Hubungan Internasional di Universitas Karachi juga berpendapat bahwa partai-partai politik tidak akan melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan keinginan rakyat Pakistan. "Dan rakyat Pakistan tidak akan pernah menerima ide menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, " tukasnya.
Di sisi lain, analis bidang keamanan dari Peshawar, Imtiaz Hussain menyatakan bahwa Pakistan sebenarmya dalam posisi "konfrontasi" dengan Israel.
"Sudah menjadi rahasia umum bahwa Israel menentang program nuklir Pakistan dan Israel terlibat dalam konspirasi untuk menghentikan program nuklir Pakistan. Mengakui Israel sama artinya memberikan akses yang mudah bagi Israel untuk memata-matai program nuklir kita, " papar Hussain.
Di Israel, surat kabar Jerusalem Post mengutip sumber-sumber Israel yang mengatakan bahwa "mundurnya Musharraf memadamkan harapan untuk meningkatkan hubungan antara Pakistan dan Israel di masa depan." Seorang pakar Pakistan di lembaga Israel’s Interdisciplinary Center Herzliya, Isaac Kfir bahkan menyalahkan Ehud Olmert-perdana menteri Israel-yang menolak tawaran Musharraf agar Pakistan diikutsertakan dalam pasukan penjaga perdamaian di perbatasan Libanon.
"Ini adalah kekalahan besar bagi Israel, " tukas Kfir. (ln/presstv/iol)