Umat Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim terkadang menemui kesulitan memecahkan persoalan rumah tangga yang mereka hadapi, apalagi warga Muslim yang tinggal di negara-negara Barat.
Warga Muslim di AS misalnya, belum banyak yang mengetahui atau bingung tentang hak-hak mereka dalam Islam, sehingga mereka sering tidak mengindahkan aturan Islam dalam mengatasi persoalan keluarga mereka, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan persoalan lainnya. Ketidakpahaman umat Islam sendiri, menambah penilaian negatif terhadap warga Muslim di AS pasca peristiwa 11 September, terutama terkait dengan masalah hak-hak perempuan dan hak asasi pada umumnya.
Profesor bidang hukum di University of Richmon Azizah Al-Hibri mengungkapkan, warga Muslim di AS banyak yang menghadapi persoalan rumah tangga, misalnya masalah kekerasan. Untuk itu ia mendirikan "Karamah" pada 1993, lembaga yang beranggotakan para pengacara perempuan yang bergerak bukan hanya di bidang pembelaan hak-hak perempuan tapi juga memberikan informasi tentang bagaimana sebenarnya ajaran Islam.
"Ada ketidakpahaman tentang Islam, dan kebingungan antara tradisi dan ajaran agama di kalangan warga Muslim sendiri, yang mereka bawa dari negara asal mereka, " kata Al-Hibri pada sejumlah wartawan di Konsulat AS di Arab Saudi.
Aktivitas organisasinya menurut Al-Hibri, sudah meluas ke Eropa dan mereka juga sudah membentuk jaringan dengan para pakar hukum Islam untuk membahas persoalan-persoalan yang terkait dengan jurisprudensi dalam hukum Islam bersama dengan para ulama.
"Kami bekerjasama dengan para hakim, pakar hukum, komunitas masyarakat sipil dan para profesor di universitas-universitas. Kami juga sering menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus terkait perceraian di antara pasangan Muslim, misalnya karena hakim ingin tahu lebih jauh tentang mahar dalam Islam, " papar al-Hibri yang sedang dalam kunjungan ke Saudi.
Menurutnya, setelah peristiwa 11 September di AS kasus-kasus kekerasan yang terjadi di kalangan warga Muslim AS meningkat. Ia menduga penyebabnya adalah karena tekanan kehidupan yang dialami warga Muslim pasca peristiwa itu.
Pada tahun 1990-an Karamah berencana membentuk pengadilan agama Islam sebagai pengadilan arbitrase, tapi kemudian dibatalkan karena pertimbangan kurangnya personel yang berkualitas yang bisa bekerja dengan mereka. "Ide itu masih terlalu dini, " katanya.
Al-Hibri yang juga mengajar fiqih Islam masalah keuangan dan keluarga di Universitas Richmond, kini sedang menyusun buku tentang kontrak pernikahan Islam di pengadilan-pengadilan AS. Selain sering memberikan dukungan terhadap hak-hak kaum perempuan Muslim, Al-Hibri juga menjadi konsultan di Dewan Tinggi Masalah Keluarga negara Qatar.
"Saya pikir fiqih Islam lebih mendalam dibandingkan peraturan hukum yang berlaku di negara-negara Barat. Saya tidak melebihkan negara yang memberlakukan hukum Islam, karena itu tergantung pada dan penyelenggaraan satu sekolah Islam saja. Saya pikir akan lebih baik jika ada beragam pengajaran Islam, " sambungnya. (ln/arabnews)