Para analis di Irak pesimis kehadiran pasukan AS mampu mengendalikan kekerasan sektarian yang belakangan ini marak di Irak, karena militer AS tidak memahami akar persoalan dari kekerasan sektarian yang terjadi.
"Bukan rahasia lagi bahwa aparat polisi dan pasukan keamanan disusupi oleh agen-agen yang loyal dengan kekuatan pemerintah dan asing. Orang-orang Amerika dan Irak sangat tahu akan hal ini," kata analis Magdy Al-Awsi.
Menurutnya, kepolisian dan pasukan keamanan Irak harus terlebih dulu dibersihkan dari para agen itu, kemudian dibentuk unit baru dengan kriteria yang lebih profesional.
Seperti diketahui, pihak AS belum lama ini kembali menghembuskan isu soal kemungkinan perang saudara di Irak, melihat makin menajamnya pertikaian sektarian antara Sunni dan Syiah di negeri 1001 malam itu. Dengan alasan mencegah meluasnya pertikaian itu, AS mengerahkan tambahan pasukan sebanyak 3.700 orang ke kota Baghdad.
Bagi para analis politik di Irak, pengerahan pasukan AS itu justru menunjukkan kegagalan 50.000 pasukan Irak yang dilatih AS, dalam mengatasi kekerasan sektarian di Irak.
Analis politik Nuri Al-Tamimi menilai AS bertanggung jawab atas terbentuknya pasukan-pasukan yang melakukan pembunuhan terhadap warga sipil. Menurut mereka, kekacauan mulai terjadi ketika AS membubarkan institusi-institusi negara sehingga situasi keamanan di Irak menjadi rawan.
"Ketiadaan hukum, sementara negara tergelincir ke arah perang sipil, telah mengaburkan keberadaan pasukan AS yang melakukan serangan terhadap individu tanpa pandang bulu, dan yang membayar ini semua adalah rakyat yang tak berdosa," kata Al-Tamimi.
Menurutnya, seluruh kebijakan AS tidak serius dan tidak efektif. Untuk menjawab semua kekacauan di Irak menurut Al-Tamimi, hanya bisa dilakukan melalui rekonsiliasi.
Kenyataan bahwa strategi AS di Irak gagal, juga diungkapkan oleh sejumlah pakar politik AS seperti dimuat dalam artikel surat kabar The New York Times, edisi Minggu (6/8).
"Rencana untuk menang, menjadi suram akibat pertikaian sektarian di Irak." kata mereka.
Pada Senin (7/8) tentara AS dan Irak bahkan melakukan serangan ke kelompok pejuang Syiah pimpinan Muqtada Al-Sadr, di kota Sadr. PM Irak Nuri al-Maliki dalam sebuah siaran di televisi mengatakan, serangan itu tidak boleh terjadi lagi untuk melindungi proses rekonsiliasi. (ln/iol)