Kota Port Said, Mesir, pada 24 Februari 2013, telah memasuki minggu keduanya dalam unjukrasa sipil. Di dekat kota Ismailia, sebuah koalisi pasukan revolusioner telah melakukan aksi serupa di awal Maret.
Terlepas dari hal ini, warga Mesir yang pro oposisi telah mencapai kesepakatan dalam satu hal: untuk meneruskan protes terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial dalam negara tersebut. Mereka mendeklarasikan program-program pemerintah sebagai sebuah kelanjutan dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi dari pemerintahan dan elit politik sebelumnya.
Di tahun 2012 terdapat 3.817 aksi demo di Mesir, menurut sebuah laporan dari Pusat Ekonomi dan Hak Sosial Mesir.
Ada pergerakan besar yang dipengaruhi asing dalam aksi pengambilan alihan para pekerja. Mereka menguasai pabrik-pabrik dan menuntut para pemilik menutup fasilitasnya, kemudian mengusir para investor pergi dari negara tersebut. Menurut pusat riset, sektor publik paling banyak mengalami unjukrasa dengan 1.381 aksi demo dalam setahun. Sementara aksi-aksi sipil dan politik mencapai angka 1.205, sektor industri dengan angka 410 aksi, 222 aksi pada sektor komersil serta 204 aksi mewakili serikat profesional.
Terdapat banyak sebab di balik meningkatnya aksi para pekerja dalam unjuk rasa besar tersebut. Yang paling mendasari aksi kemarahan para pekerja dan profesional adalah upaya dari menteri tenaga kerja Ikhwaanul Muslimin – Khaled al-Azhari, yang mengeluarkan legislasi yang sangat ketat melarang pluralisme perserikatan.
Peraturan tersebut disusul dengan tuntutan kenaikan upah dari para buruh di tengah drastisnya penurunan standar kehidupan dan tingginya harga-harga.
Tingkat inflasi pada Februari 2012 naik sebesar 6,6 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, menurut Badan Pusat Mobilisasi dan Statistik Publik (CAPMAS) – badan resmi statistik Mesir. (DS/al-akhbar)