Timur Tengah rakyatnya mendidih. Pekan-pekan ini para rezim diktator yang berkuasa, mulai dari Aljazair, Yaman, Mesir, dan Jordan, semuanya menggigil menghadapi akhir kekuasaan mereka.
Rezim-rezim diktator itu sekarang harus menghadapi rakyatnya, yang sudah muak kepada kekuasaan mereka. Kejatuhan rezim diktator El Abidin di Tunisia, seperti api yang menyulut ke mana-mana, dan terus membakar para penguasa, yang sudah dibenci rakyatnya.
Para penguasa yang mula-mula merasa tenang, dan hidup di istana-istana mereka yang mewah, tiba-tiba terusik dengan tewasnya Mohammad Bouazizi, seorang warga Tunisia yang membakar dirinya, hingga tewas. Peristiwa ini memberikan inspirasi seluruh gerakan rakyat di Timur Tengah, yang sudah ingin menjungkirkan para penguasa mereka.
"Sangat penting apa yang terjadi di Tunisia, dan sekarang menyebar ke seluruh dunia Arab, dan menjadi revolusi", ujar Hassan Nafaa, profesor bidang ilmu politik Universitas Cairo.
Gerakan oposisi anti pemerintah yang terus bergejolak di seluruh wilayah Arab itu, tak bakal berhenti. Ibaratnya seperti busur panah yang dilepas. Tak akan pernah kembali. Akumulasi penindasan yang bercampur dengan kemiskinan yang mendera, dan sikap para penguasa Arab, yang terus melakukan penindasan memupuk kebencian yang amat mendalam, dan akhirnya meledak menjadi sebuah revolusi. Tidak ada yang dapat menghentikan terjadi revolusi di dunia Arab, saat sekarang ini.
Di Mesir, organisasi oposisi menjalankan gerakan dengan menggunakan facebook. Mereka bekerja dan berkoordinasi melalui facebook. Sekarang sudah lebh dari 85.000 pengguna facebook, yang menyatakan bergabung dengan gerakan oposisi. Gerakan yang mereka lakukan ingin mengakhiri kekuasaan Mubarak, yang sudah berlangsung tiga dekade, dan hanya menghasilkan penderitaan dan kehinaan.
Mesir dicekik oleh Israel dan AS, dan setiap hari harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri dengn kejam. Mubarak menggunakan tangan besi, memanipulasi pemilu dengan terang-terangan, tanpa sedikitpun ada rasa malu. "Rakyat Mesir menginginkan perubahan", ujar Nafaa.
Tanggal 25 Januari dijadikan ‘Hari Revolusi’, di mana berbagai kelompok bahu-membahu melakukan aksi, yang terang-terangan menginginkan Mubarak mundur. "Peristiwa yang terjadi di Tunisia sangat menarik dan memberikan inspirasi", ujar Jushoa Stacher, seorang ilmuwan politik dari Kent State University.
Pemerintah Mesir dan aparat keamanan sekarang sedang mengawasi segala aktivitas Ikhwan, organisasi terbesar di Mesir, yang dikawatirkan menjadi motor dari gerakan perubahan menuju di Mesir yang bebas. Ketika akan melakukan aksi ini, ‘Pertama yang kami pikirkan tempat dan waktunya", ujar seroang aktivis Khaled Kamel (20), yang menggunakan akses facebooknya untuk mengorganisir gerakan yang mereka lakukan.
Rezim Mubarak dengan sangat ketat mengawasi semua pengguna seluler dan facebook, yang dikawatirkan akan menjadi alat penggerak, dan melakukan mobilisasi gerakan kaum oposisi. Pemerintah Cairo juga mengawasi seluruh jaringan internet, yang sekaran ini juga digukanan melakukan gerakan. "Kami dalam waktu yang bersamaan menggunakan untuk membentuk jaringan gerakan", ujar Nafaa.
Gerakan pembebasan yang sedang digalang melalui facebook dan internet di Mesir, baru mulai, dan menjadikan tanggal 25 Januari, sebagai "Hari Revolusi", untuk menjatuhkan rezim yang ‘gaek’, yang sudah berkuasa lebih dari tiga dekade. (m/tm)