Hari itu seorang Mahasiswa Indonesia di Mesir pergi ke PUSKIN (Pusat Kebudayaan Indonesia). Karena dikejar waktu ia terpaksa naik taksi. Ketika dalam perjalanan, azan shalat Ashar berkumandang dari menara-menara masjid Kairo. Tanpa diduga, Sopir taksi itu minta izin berhenti sebentar untuk ikut shalat jamaah di Masjid. Tetapi karena merasa terburu-buru, pelajar Indonesia itu menolak untuk berhenti.
Sopir taksi yang tergolong masih muda dan bercelana Levis itu kelihatan kesal sekali. Disetelanya keras-keras suara azan di radio taksinya. Tidak hanya itu, ia mengebut-ngebutkan taksinya dengan kecepatan yang tinggi, membuat Mahasiswa itu sedikit takut. Namun ia merasa tenang setelah mendengar ucapan unik dari mulut Sopir taksi itu. Ia berkata, “Kalau bukan shalat Ashar dan Subuh sih tidak apa-apa?” katanya.
Sepertinya ia memang terbiasa shalat jamaah di masjid. Terutama shalat Ashar dan Subuh. Setelah mengatakan itu, ia mengangkat suaranya dengan hanya satu kalimat kemudian diam. Anda tahu apa bunyi kalimat itu? Kalimat itu adalah sebaris syair lagu milik Syaikh Musyari Rasyid yang berbunyi. “Inna Shalâtî mâ ukhallîhâ.” (Sungguh shalatku takkan pernah aku tingalkan).
Hari kedua, pelajar yang sama menyetop taksi untuk pergi ke kampus Al-Azhar. Sebelum naik taksi, pelajar itu terlibat tawar menawar harga dengan sopir taksi tersebut. Maklum saja, taksi-taksi di Kairo rata-rata adalah taksi tua, model taksi tahun tujuh puluhan, mirip taksi-taksi di film India. Tentunya bukan kelas argo, karena tarif ongkos bisa ditawar-tawar. “Saya mau bayar yang penting tidak lebih dari 10 Pound”, kata Mahasiswa itu. Masyi (OK) kata sopir taksi itu.
Mahasiswa itu pun naik. Tetapi anehnya, selama di perjalanan, sopir taksi itu keliahtan marah-marah, seakan tidak setuju dengan ongkos yang telah disepakati. Ia kebut-kebut taksinya yang sudah reot itu. Napasnya tersengal-sengal seperti menahan amarah. Kepalanya tak henti-henti menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia ambil sebatang rokok kemudian menyalakannya. Namun tidak berberapa lama ia menghisapnya, rokok itu ia buang, kemudian ngebut lagi. Mahasiswa itu menjadi merasa tidak enak. “Kalau orang ini tidak mau dibayar dengan 10 Pound, mengapa ia menyuruh saya naik?” Gerutunya di dalam hati.
Ketika sampai di dekat Madinatul Bu`ûts (Asrama mahasiswa luar negeri milik Univ. Al-Azhar), sopir taksi itu tiba-tiba bertanya kepada Mahasiswa itu dengan lemah lembut, “Nama Anda siapa?” Dengan perasaan keheranan pelajar itu memberitahukan namanya. Setelah itu ia bertanya kepada sopir itu, “Mengapa tadi anda terlihat gelisah sekali, seperti orang sedang menahan amarah?” Anda tahu apa jawaban sopir taksi itu? “Doakanlah saya! Doakanlah saya! Doakanlah saya!” katanya dengan suara agak keras. “Ya, tapi kenapa?” Tanya Mahasiswa itu lagi. “Doakan saya biar Allah membuang dunia dari hati saya ini.” “Memangnya kenapa?” Tanya pelajar itu keheranan. “Saya tadi sangat menyesal dan memarahi diri saya yang telah menanyakan kepada anda, “Mau bayar berapa?!!” Seharusnya saya tidak perlu menanyakan hal itu. Anda di sini jauh-jauh datang dari negeri anda, meninggalkan keluarga, ayah dan ibu untuk menuntut ilmu. Anda lebih baik dari semua orang di Mesir ini. Maka doakanlah saya agar Allah membuang dunia yang ada di dalam hati saya ini.” Katanya haru. Sesampai di Kampus, sopir itu tidak mau dibayar. Mahasiswa itu memaksa, namun ia tetap tidak mau dibayar.
Hari ketiga, Mahasiswa yang tadi juga, bersama seorang temannya hendak pergi menemuai Dr. Ragib as-Sirjâni di Pusat Studi Pradaban, di Kairo. Supaya cepat sampai tujuan, Mahasiswa itu naik taksi. Di tengah perjalanan, sopir taksi itu mengeluhkan kesibukan dan kesulitan hidup yang ia hadapi kepada kedua mahasiswa tersebut. Ia bercerita bahwa ia sangat sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Setiap hari ia harus pergi pagi pulang malam untuk mencari nafkah bagi anak dan istri. Sehingga ia terpaksa mengulang hafalan Al-Qurannya di dalam Taksi tua yang ia kemudi. Ternyata sopir itu telah menghafal Al-Quran 30 Juz. Semenjak pagi itu, ia telah mengulang sebanyak 11 Juz di dalam taksinya. Ia bertanya kepada kedua mahasiswa penumpangnya, “Adakah di antara kalian yang hafal Al-Quran?” “Saya tidak hafal Al-Quran, tetapi ini ada teman saya yang hafal.” Jawab Mahasiswa tadi sambil menunjuk kepada temannya yang memang telah hafal Al-Quran. Sopir taksi itu berkata, “Tolong Anda simak! Saya akan membaca surat Yunus dari awal sampai akhir.” Jadi, selama perjalanan itu, kedua mahasiswa tadi khsuyuk mendengarkan seorang sopir yang mengulang hafalan surat Yunus di dalam taksinya.
Indah… sungguh pengalaman yang sangat indah! Sebuah pengalaman yang sangat kita harapkan bisa terjadi di Negara kita. Sopir-sopir taksi dan bis, tentara, polisi dan satpam, pejabat-pejabat Negara, para pedagang dan pengusaha, mahasiswa, dan semua elemen masyarakat berlaku seperti mereka-mereka itu. Hal ini bukan hal yang mustahil, jika kecintaan terhadap Al-Quran kita bina sejak dini kepada anak-anak kita.
Tetapi tentunya, sebelum membina dan mendidik anak-anak kita dengan hal itu, binalah terlebih dahulu diri sendiri untuk mencintai dan mengagungkan Al-Quran, dengan rajin membacanya dan menghafalnya, mempelajari isi kandungannya serta mengamalkan ajarannya. Wallâhu a`lâ wa a`lam. (SINAI) Bersambung…