Sambungan dari tulisan tentang keunikan di Mesir
d. Anak Kecil Jarang digendong
Dalam tulisan sebelumnya, penulis menceritakan bagaimana anak-anak di Mesir ini didik dengan tegas dan tidak dimanja-manjakan. Hal yang unik bisa kita dapatkan ketika si anak menuruni tangga atau trotoar penyeberangan. Ketika si anak terlihat kesulitan, sang orang tua langsung mengangkat tangan anaknya, tapi uniknya yang diangkat hanya sebelah saja, sehingga terlihat menggantung. Bagi mereka yang baru pertama kali melihat tentu akan merasa iba, khawatir tangan anaknya akan keseleo. Tapi sikap seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat di Mesir, bahkan merupakan bagian dari bentuk perhatian antara orang tua dengan anaknya.
Dan menurut penulis, ternyata hal tersebut menjadi salah satu cara bagi warga Mesir untuk mendidik anak agar mandiri dan tidak terlalu bergantung kepada orang lain. Mereka akan tumbuh sebagai orang yang terbiasa berdiri sendiri, anak-anak menyelesaikan masalah sendiri tanpa harus buru-buru meminta bantuan ke orang tuanya. Pelajaran kemandirian inilah yang perlu ditanamkan sejak kecil. Mereka anak-anak kecil tidak terlalu memerlukan gendongan tangan, tetapi lebih memerlukan gendongan dan elusan cinta dari hati, walaupun secara kasat mata perlakuan terhadap mereka sekilas terlihat kurang wajar.
e. Orang Tua Mencium Tangan Anak
Berbeda dengan kebiasaan kita di tanah air. Anak-anak kecil biasanya terbiasa mencium tangan orang tua. Kebiasaan ini menurut penulis baik, namun di dalamnya terkesan bahwa anak harus taat dan patuh kepada orang tua. Dan memang itu pengajarana yang baik. Namun tidak terdapat di sana makna-makna yang mendidik anak untuk senantiasa pede, merasa dihormati, dihargai dan oleh orang tuanya ataupun orang yang lebih tua.
Adapun kebiasaan orang tua di Mesir, mereka yang justeru mencium tangan anak mereka. Orang dewasa juga mencium tangan anak kecil. Penulis melihat hal itu adalah sebuah bentuk penghargaan, penghormatan dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Anak belajar merasa dihargai dan diperhitungkan, sehingga mereka menjadi percaya diri. Namun hal ini dilakukan hanya pada anak-anak kecil umuran 3-5 tahun.
Pemandangan ini bisa kita dapati ketika usai shalat berjamaah di Masjid, anak-anak yang masih mungil-mungil itu disuruh ke depan oleh orang tuanya menyalami Imam. Sesampai di depan, justru sang Imam yang mencium tangan mereka, tentu saja anak-anak kecil itu menjadi salah tingkah, tersipu malu dan kemudian berlari ke pelukan ayahnya.
f. Dididik mencintai Allah dan Rasulullah Saw
Mereka terbiasa mengambalikan segalanya kepada Allah. “Di min ‘andi Rabbina” (Ini dari Tuhan kita). Apapun masalah, kalau merupakan kebaikan mereka selalu mengatakan “Di min ‘andi Rabbina“. Perkataan itu memang sepele, namun pengaruhnya cukup kuat untuk menjadikan anak-anak dekat dengan Rabb mereka. Mereka dekat dengan kejadian-kejadian yang selalu dihubungkan dengan Tuhannya.
Orang Mesir kalau disebut kepada mereka nama nabi Muhammad Saw, mereka pasti akan bershalawat. Sedikit-sedikit mereka mengatakan “Shallu ‘alan Nabi” (berselawatlah kepada Nabi). Bahkan di pasar-pasar di kendaraan umum, orang berjualan menjajakan dagangannya sambil mengatakan “illi biyushalli ‘alan Nabi yeksab” (yang berselawat kepada Nabi akan beruntung). Kata-kata ini mereka dengar sejak kecil, dan diwarisi menjadi kebiasaan baik yang diperlihara. Penulis rasa itulah salah satu faktor yang menjadikan mereka dekat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena sering menyebut sesuatu membuktikan kecintaan terhadap sesuatu itu.
g. Khusus Untuk Al-Quran
Telah disinggung sebelumnya bagaimana mereka yang kecil-kecil mampu menghafal Al-Quran dengan baik. Di antara rahasianya adalah, karena para orang tua mendidik anaknya bersahabat dengan Al-Quran dari sejak kecil. Anak-anak dituntun menghafal Al-Quran sejak ia belum mengetahui baca tulis. Oleh karena itu, tidak jarang kita menemukan anak kecil yang mereka memiliki banyak hafalan Al-Quran, namun ketika kita suruh tunjukkan di dalam mushaf Al-Quran, mereka tidak tahu ayat mana yang mereka baca.
Inilah sebenarnya metode yang tepat untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak kecil. Mereka tidak disuruh menghafal Al-Quran sesudah bisa membaca sendiri Al-Quran itu. Tetapi mereka dituntun oleh orang tuanya untuk menghafal setiap hari beberapa ayat secara konsisten, tanpa melihat Mushaf. Dituntun dan dituntun sedikit demi sedikit sampai ia bisa. Setelah mereka beranjak besar, dan bisa baca tulis, mereka akan mengerti sendiri mana ayat yang mereka baca.
Al-Quran memang diajarkan turun-temurun dengan cara itu. Begitulah dahulu para Sahabat menerima Al-Quran dari Rasulullah Saw. Mereka rata-rata orang Ummi, tidak tahu baca tulis, namun mereka sangat kuat hafalannya. Sebab hafalan mereka lah Al-Quran sampai kepada kita sekarang ini seperti waktu diturunkannya. Hal ini karena otak mereka terbiasa menghafal syair-syair sejak kecil, tanpa melihat tulisan dari ungkapan yang ia ucapkan. Jadi kemampuan membaca tidak harus sejalan dengan kemampuan menghafal. Belajar menghafal harus diajarkan sejak mereka belum bisa tulis baca.
Di sekolah-sekolah Al-Azhar, anak-anak tamatan SD diwajibkan menghafal 17 juz. Kemudian ditingkat SMP, SMA sampai perguruan tinggi, mereka harus hafal Al-Quran. Masa-masa kecil inilah mereka dididik untuk menghafal Al-Quran. Karena pada masa itu otak mereka masih bersih, ibarat mengukir di atas batu. Sulit, namun sekali tergores susah hilangnya. Bersambung..