Asif Ahmed dan istrinya mendarat dengan selamat di bandara Edinburgh pada 11 April 2010, setelah seminggu menghabiskan liburan di Stansted. Begitu turun dari pesawat, dua petugas berpakaian preman mendekati pasangan suami istri itu. Mereka minta izin pada istri Ahmed agar dibolehkan membawa suaminya sebentar untuk menjalani apa yang mereka sebut sebagai "pemeriksaan normal."
Ahmed yang bekerja untuk walikota London dan Skotlandia di bidang peningkatan hubungan masyarakat lokal dengan komunitas Muslim itu dibawa ke sebuah ruangan oleh dua petugas berpakaian preman tadi, yang mengaku berasal dari kesatuan khusus keamanan dan intelijen kepolisian. Pada Ahmad, kedua petugas itu mengatakan bahwa Ahmed akan dimintai keterangan berdasarkan Undang-Undang Terorisme tahun 2000.
Ahmed bertanya apa alasan pemeriksaan terhadap dirinya, tapi seorang petugas menjawab, "Tidak ada alasan apapun. Ini hanya pemeriksaan terhadap orang-orang yang dilakukan secara random." Kedua petugas itu juga tidak mau memberitahu nama mereka pada Ahmed, dan hanya memberikan nomor kepegawaian saja.
Ahmed tidak punya pilihan lain selain menjalani interogasi itu. Petugas yang menginterogasinya mengancam, jika Ahmed menggunakan hak untuk diam, maka ia bisa ditahan dan akan berakhir di penjara. Ahmed ditanya tentang pekerjaannya, dimana ia biasa salat, aktif di organisasi muslim apa saja. Ia juga ditanya tentang apa definisi ekstrimisme dan apa yang akan ia lakukan jika ia mengetahui ada seseorang yang akan melakukan aksi terorisme, dan pertanyaan lainnya.
Di ruangan berbeda, istri Ahmed juga diinterogasi. Istrinya sempat kesal karena petugas menanyakan secara detil soal kakak perempuannya yang kala itu sedang sakit keras.
Ahmed mengungkapkan, kedua petugas yang menginterogasi ia dan istrinya berulang kali mengatakan bahwa Ahmed dan istrinya–yang sedang menyelesaikan studi untuk gelar PhD di bidang politik–adalah "orang-orang yang menarik". Ujung-ujungnya, kedua interogator itu menawarkan Ahmed untuk menjadi informan mereka.
"Mereka menawarkan sebanyak tiga kali, apakah saya mau bekerja untuk unit khusus polisi itu, memata-matai komunitas Muslim di Edinburgh. Tapi saya menolaknya," ujar Ahmed.
Ternyata, Ahmed bukan satu-satunya muslim yang mengalami hal tersebut. Hal yang sama juga dialami Abdullah, seorang pemuda asal timur London. Ia didekati petugas berpakaian preman ketika baru tiba di bandara Stansted dari perjalanan menunaikan ibadah haji. Petugas itu mengatakan ada masalah dengan paspornya dan perlu bicara dengan Abdullah.
Selanjutnya, Abdullah menjalani proses interogasi yang hampir mirip dengan Ahmed. Bedanya, petugas yang menginterogasi Abdullah mengaku dari MI5, badan intelijen dalam negeri Inggris. Setelah ditanya macam-macam, termasuk disuruh mengenali foto-foto sejumlah orang, Abdullah akhirnya dilepas.
Abdullah meyakini, petugas yang mengaku anggota MI5 itu ingin menjadikannya sebagai mata-mata. "Mathhew–salah satu petugas yang menginterogasi Abdullah–berkali-kali menelpon saya lagi, meminta pertemuan lanjutan. Dia bilang, ingin meminta saya membantu tugasnya di MI5," kata Abdullah.
Ia akhirnya memenuhi permintaan itu. "Saya diperintahkan untuk bertemu Matthew di luar stasiun kereta bawah tanah Farrington. Lalu, lewat telepon, saya diminta ke sebuah lokasi di dekat situ dan dari sana saya dan Matthew menuju ke sebuah hotle," tutur Abdullah mengingat peristiwa 22 Januari 2008.
Matthew kembali menginterogasi Abdullah, mananyakan tentang pekerjaan dan hal-hal pribadinya di masa lalu maupun sekarang, rencana masa depannya, dan mengatakan bahwa ia sangat membutuhkan bantuan Abdullah untuk mengenali sejumlah foto. Sampai di situ, Matthew meminta bertemu lagi dengan Abdullah, tapi Abdullah merasa ada sesuatu yang tidak beres sehingga ia mengatakan tidak berminat bekerja untuk Mathhew.
Karena merasa terganggu terus menerus ditelpon Matthew, Abdullah mengganti nomor ponselnya. Tapi nomor barunya terlacak, dan Mathhew kembali menelpon dan memaksa untuk bertemu. Mathhew juga tahu kalau Abdullah akan melakukan perjalanan ke Mesir. Agen intelijen itu mengancam, jika Abdullah berangkat ke Mesir, maka ia akan ditangkap berdasarkan UU Terorisme.
Pengakuan Ahmed dan Abdullah memperkuat kecurigaan bahwa MI5 dan kepolisian Inggris telah menyalahgunakan pasal 7 UU Terorisme untuk menginterogasi dan menjebak muslim untuk dijadikan informan atau mata-mata mereka, guna mengawasi komunitas Muslim di Inggris.
Sejauh ini, memang belum ada bukti yang mendukung kecurigaan itu, selain pengakuan dari banyak pihak yang mengatakan bahwa aparat menekan mereka untuk menjadi mata-mata dan informan. Mereka yang "didekati" agen-agen intelijen itu adalah warga muslim biasa. Beberapa diantara mereka bernasib "sial" karena malah dijadikan tersangka teroris seperti 85 ribu tersangka lainnya sepanjang tahun 2010 kemarin. (ln/guardian)