“Semua yang ada di dalam rumah (keluargaku) dibunuh orang-orang Amerika kecuali aku dan adikku Abdul Rahman. Kami sangat ketakutan dan mencoba bersembunyi di bawah bantal. Kami tidak berani bergerak selama dua jam. Anggota keluargaku belum mati, kami mendengar mereka meraung-raung kesakitan hingga suara itu hilang bersama nafas mereka yang terakhir.”
Kalimat-kalimat sedih itu meluncur dari lisan seorang bocah wanita Irak, Iman Hasan,10, menceritakan bagaimana serdadu-serdadu penjajah Amerika menyerbu rumahnya di kota Haditsah, 220 kilometer sebelah barat laut kota Bagdad, pada 19 Februari lalu dan membunuh 15 orang dari keluarganya bersama 24 orang warga sipil di kota tersebut.
Kantor berita Reuters, Sabtu (27/05) mengutip pernyataan seorang pejabat pertahanan Amerika, “Penyidikan masih dilakukan terkait dengan kejadian Haditsah. Bisa jadi diarahkan tuduhan pidana kepada sejumlah anggota marinir Amerika, termasuk tuduhan pembunuhan.”
Detail Kejadian
Menurut penuturan Iman, persitiwa itu terjadi sekitar pukul tujuh pagi pada saat dia masih mengenakan baju tidur dan tengah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Sementara itu ayahnya sedang shalat dhuha di kamar sebelah, kedua kakek neneknya masih berbaring di tempat tidur.
Pada saat itulah dia mendengar suara ledakan dekat kedaraan militer Amerika yang menewaskan sopirnya. Sesaat kemudian keluarganya mendengar bunyi tembakan namun tetap bertahan tidak meninggalkan rumah.
Sekitar 15 menit kemudian pasukan marinir Amerika menyerbu rumah dengan dalih mencari para pejuang Irak. Mereka berteriak didepan wajah ayahnya sebelum melempar granat tangan ke arah kamar kakek neneknya kemudian disusul tembakan sporadis ke ruang tengah di mana sebagian besar keluarganya tengah berkumpul.
Iman mengatakan, dirinya melihat ibunya terkena ledakan granat, salah seorang bibinya langsung membopong seorang bocah dan segera lari ke luar rumah, salah seorang pamannya turun dari lantai atas dan melihat apa yang terjadi, ia langsung lari ke luar rumah, namun para marinir Amerika mengejar dan membunuhnya.
“Semua orang yang ada di rumah keluargaku terbunuh di tangan orang-orang Amerika kecuali saya dan adik saya Abdul Rahman. Keluargaku belum meninggal seketika itu juga, namun mereka meraung-raung kesakitan hingga meninggal,” katanya sedih.
Minta Ma’af
Abu Muhammad, salah seorang paman Iman yang kala kejadian tidak ada di rumah mengatakan, “Kami kubur tiga jenazah dalam satu liang lahad. Ada lima liang lahad untuk mengubur semua anggota keluarga yang menjadi korban. Kami mengubur masing-masing ayah dengan isteri dan anaknya.”
Menurut Abu Muhammad kesatuan marinir Amerika hadir dalam pemakanan dan meminta ma’af, namun mereka menempatkan sejumlah sniper di sekitar pemakaman.
Sementara itu Muhammad Abid, sepupu Iman mengatakan bahwa orang-orang Amerika itu kembali ke rumah dua bulan setelah kejadian untuk mengambil gambar lokasi kejadian sambil membayar ganti rugi sebesar 2.500 dollar AS untuk setiap korban.
Kemudian Iman, yang juga terluka di bagian kakinya dalam peristiwa tersebut, mengakhiri kisahnya dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan mema’afkan orang-orang Amerika. Dengan nada kecaman Iman mengatakan, “Saya benci mereka. Mereka telah datang ke rumah untuk membunuhi kami kemudian mengatakan kami minta ma’af.” (was/iol)