Muhamad Ali Louja sedang berlibur ketika ia mendapat pesan bahwa lencana yang menjadi akses masuk kantornya ditarik oleh tempatnya bekerja. Mulanya ia mengira penarikan itu disebabkan karena ia belum melunasi kewajiban-kewajiban yang harus ia bayar. Tapi dugaannya ternyata salah.
Louja adalah salah satu dari 72 karyawan musiman yang diberhentikan sepihak oleh manajemen bandara internasional Charles de Gaulle di Perancis sejak tanggal 21 Oktober kemarin. Mereka dilarang masuk ke zona bea cukai di airport-tempat mereka bekerja-setelah aparat kepolisian menarik tanda pengenal mereka.
Louja berusaha mencari jawaban mengapa ia tiba-tiba diberhentikan. Ia mendatangi kantor polisi di Saint Denis untuk menemukan jawaban itu. Alih-alih mendapat jawaban, Louja malah diinterogasi dengan sejumlah pertanyaan yang membuatnya bingung.
"Mereka menanyakan tentang jenggot saya, apakah isteri saya mengenakan hijab dan cadar, apakah saya pernah ke Pakistan dan apakah saya punya hubungan dengan orang-orang Salafi," tutur Louja.
Usut punya usut, Louja dan rekan-rekannya ternyata telah menjadi korban ‘diskriminasi’ di tempatnya bekerja. Mereka diberhentikan oleh manajemen bandara hanya karena mereka Muslim, tidak ada alasan lain.
France Anti-Terorist Coordination Unit (UCLAT) mengatakan, para pekerja Muslim menimbulkan "resiko bagi keamanan bandara", pendeknya, mereka dianggap "berbahaya."
Sejumlah pekerja yang diberhentikan, membantah tuduhan itu dan membawa kasusnya ke pengadilan. Dua pekerja berhasil mendapatkan kembali lencananya pada 16 November kemarin dan tuduhan berubah, mereka hanya dianggap lalai telah menghilangkan lencananya.
Lima pekerja lainnya yang juga mengajukan gugatan yang sama-meminta agar akses masuknya dikembalikan-permohonannya ditolak pengadilan.
Muhammad Sedeki, yang beruntung mendapatkan kembali lencananya mengungkapkan, aparat keamanan menarik lencananya tanpa alasan yang jelas.
"Ketika saya menanyakan alasannya, saya dibilang menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional. Tapi mereka menolak untuk mengemukakan ancaman apa yang dimaksud dan mengatakan itu adalah rahasia negara," papar Sedeki.
Sejumlah pekerja berusaha mendapatkan dokumen tentang tuduhan yang dikenakan pada mereka.
"Saya menemukan tulisan nama dan alamat saya salah dan dakwaan yang dikenakan termasuk beberapa hal yang belum pernah saya dengar," sambung Sedeki.
Pengalaman serupa dialamai Harvey Batai. Ia sudah bekerja di bandara Charles de Gaulle selama tiga tahun dan selama itu, dia belum pernah bermasalah.
"Saya malah menerima surat pernyataan terima kasih dari otoritas keamanan bandara setelah berhasil menemukan senjata selundupan di bandara," katanya.
Tapi segalanya berubah bagi para pegawai yang Muslim. "Suatu hari saya mendapat pesan dari kantor polisi Saint Denis bahwa lencana saya ditarik," kisah Batai.
"Mereka bilang, mereka mencurigai perjalanan saya ke beberapa negara termasuk ke Spanyol, Pakistan, AS dan Kosovo, meski saya sebenarnya tidak pernah ke provinsi Kaukasia itu. Perjalanan itu kebanyakan perjalanan untuk hiburan bersama keluarga dan orang tua saya," tambah Batai.
Tindakan pihak bandara yang memberhentikan para pekerjanya yang Muslim dikecam oleh organisasi Movement Against Racism and for the Friendship Among Peoples (MRAR).
"Sangat berbahaya menarik lencana-lencana para pekerja itu tanpa alasan yang jelas, tapi hanya hanya karena mereka menganut agama tertentu," kata Sekjen MRAR, Mouloud Aounit.
Serikat Pekerja Bandara Charles de Gaulle, pada 3 November kemarin meyerukan aksi mogok kerja untuk memprotes PHK sepihak bagi para pekerja yang Muslim. (ln/iol)