Muslim Denmark merasa terintimidasi untuk ikut memberikan hak suaranya dalam pemilu parlemen yang sedang berlangsung di negeri itu. Intimidasi itu justru datang dari kelompok Muslim sendiri yang memandang pemilu sebagai bagian dari konsep demokrasi, bertentangan dengan ajaran Islam.
Tokoh muslim Denmark Mohammad Rafiq mengatakan, anggota ormas Islam Hizbut Tahrir di Denmark datang ke sejumlah kawasan yang menjadi konsentrasi komunitas Muslim di negeri itu. Mereka berjaga-jaga di tempat-tempat pemungutan suara untuk menghalang-halangi dan mencegah agar warga Muslim tidak ikut serta dalam "pesta" demokrasi itu.
"Kami melihat mereka–yang di lingkungan Muslim dikenal sebagai orang-orang fundamentalis–mengawasi tempat-tempat pemungutan suara dan meyakinkan warga Muslim untuk tidak memberikan hak suaranya. Ada ancaman langsung. Jika ada seorang Muslim yang ingin ikut pemilu, keluarga mereka terancam dikucilkan," ujar Rafiq, seorang penulis dan pakar bidang integrasi.
Ia mengatakan, intimidasi itu bukan hanya dilakukan Hizbut Tahrir terhadap komunitas Muslim, tapi juga oleh kelompok-kelompok internal lainnya di Denmark seperti Blågårds Plads, Mjølnerparken, Frederiksberg, Ishøj dan Brøndby.
"Ikut pemilu harus dibayar mahal oleh kalangan Muslim. Konsekuensi yang mereka hadapi, mulai dari dilarang untuk memakamkan anggota keluarganya–jika ada yang meninggal–di lingkungan masjid, sampai dipersulit saat mengurus pernikahan. Persoalannya bisa menjadi sangat rumit," ujar Rafiq.
Itulah sebabnya, komunitas Muslim di Denmark yang sudah memiliki hak suara dalam pemilu, cenderung untuk tidak menggunakan hak suaranya. Menurut Rafiq, Muslim yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu karena merasa terintimidasi, jumlahnya lebih besar–sekira 30.000–dibandingkan Muslim yang berani menggunakan hak suaranya.
"Kelopok Muslim fundamentalis beranggapan bahwa demokrasi tidak sejalan dengan hukum agama Islam. Mereka berusaha keras untuk mencegah komunitas Muslim ikut dalam pemilu," sambung Rafiq.
Ia menambahkan, diantara ribuan Muslim Denmark yang tidak menggunakan hak suaranya, kebanyakan adalah para muslimah, karena tidak diizinkan suaminya. "Mereka tidak mau kaum perempuan terlibat dalam demokrasi," kata Rafiq.
Situs berita Denmar Ekstrabladet menanyakan pada Adnan Avdic, seorang penganut aliran Salafi di Denmark, yang membagikan selebaran di tempat pemungutan suara. Avdic mengatakan, selebaran itu yang berisi seruan agar warga Muslim tidak ikut pemilu, karena "demokrasi adalah agama buatan manusia," kata Avdic. (kw/Eb)