Hamas masih menghadapi batu sandungan di dalam negerinya sendiri untuk membentuk pemerintahan baru. PLO hari Rabu (22/3) kemarin menyatakan menolak platform politik Hamas yang diajukan oleh calon PM Palestina yang baru Ismail Haniyah.
"Presiden Abbas akan mengirim surat pada pemerintahan Hamas berisi penjelasan bagaimana situasinya atas penolakan platform yang diajukan Hamas. Pemerintahan Hamas harus mengkaji platform itu dan mempresentasikan platform yang baru, yang ikut menyertakan semua kepentingan di Palestina," kata Yassir Khalid, anggota Komite Eksekutif PLO.
Anggota Komite Eksekutif PLO lainnya Zakaria Al-Agha mengungkapkan alasan PLO menolak platform pemerintahan Hamas. Menurutya platform yang dibuat Hamas tidak menyebut-nyebut PLO sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina yang sah. Untuk itu, melalui Presiden Mahmud Abbas, PLO minta Hamas mengubah platformnya agar tetap sejalan dengan kebijakan PLO.
Perdana Menteri Palestina yang sudah mengundurkan diri, Ahmed Qurei juga berpendapat sama bahwa platform yang dibuat Hamas tidak bisa diterima karena tidak mengakui supremasi PLO. "Kita tidak bisa membentuk sebuah pemerintahan yang tidak mengakui PLO," katanya.
Sementara itu, Mahmud Abbas mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mengesahkan susunan kabinet Hamas dan program-program pemerintahannya tanpa konsultasi dengan anggota PLO. Sebagai ketua PLO dan Presiden otoritas pemerintahan Palestina, Abbas harus memberikan persetujuannya atas susunan kabinet dan program-program pemerintahan Hamas sebelum diserahkan ke parlemen.
Pemimpin blok Fatah di Parlemen, Azzam Al-Ahmad mengingatkan akan terjadinya krisis antara pemerintah dan pihak kepresidenan otoritas Palestina jika Hamas tidak mau mengubah platform pemerintahannya. Setelah persetujuan Oslo tahun 1993, PLO memberikan mandat pada otoritas Palestina untuk mengambil alih tugas-tugas PLO. PLO yang pada saat itu dipimpin oleh almarhum Yasir Arafat, merupakan payung pemersatu hampir semua faksi di Palestina dan ini artinya PLO mewakili bukan hanya 3,8 juta rakyat Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Al-Quds tapi juga sekitar 4,8 juta rakyat Palestina dan pendukungnya di seluruh dunia.
Sikap Hamas
Menanggapi penolakan PLO itu, Hamas beragumen bahwa legitimasi yang didapatnya berasal dari suara rakyat lewat pemilu dan bukan dari PLO. Melalui juru bicaranya Sami Abu Zuhri, Hamas menyatakan menolak tuntutan PLO dan menyebutnya tidak konstitusional.
"Menurut konstitusi Palestina, Dewan Legislatif Palestina adalah satu-satunya badan yang mempunyai hak untuk memutuskan program-program politik pemerintah," katanya.
Zahri menegaskan bahwa Hamas menghormati PLO, tapi di sisi lain Hamas juga mengkritik PLO yang dianggap gagal mewakili semua faksi rakyat Palestina dan meraih kekuasaan. Hamas sendiri tidak pernah bergabung dengan PLO dan selalu menolak memberikan pengakuan atas supremasi PLO.
Perdana Menteri Ismail Haniyah merespon penolakan PLO dengan meminta parlemen untuk menggelar rapat pada Sabtu (25/3) mendatang dan melaksanakan voting atas program-program politik dan susunan kabinetnya. Mengingat mayoritas Hamas di parlemen, nampaknya Abbas tidak punya pilihan lain selain memberikan persetujuan.
Pada Minggu (19/3) malam, Hamas menyerahkan susunan kabinetnya pada Presiden Mahmud Abbas yang terdiri dari para pemimpin Hamas, kalangan independen dan teknorat. Haniyah mengatakan, kabinetnya yang beranggotakan 24 orang termasuk seorang perempuan dan seorang penganut agama Kristen serta dua pejabat Hamas yaitu Mahmud Al-Zahar dan Sayed Siam masing-masing sebagai menteri luar negeri dan menteri dalam negeri.
Hamas sudah berusaha untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu, tapi setelah hampir empat minggu pembicaraan untuk membentuk pemerintahan koalisi, tidak ada faksi yang setuju untuk bergabung, termasuk Fatah.
Sumber-sumber diplomat asing pada Senin (13/3) lalu mengatakan, pemerintahan Bush sudah mengingatkan Hamas dan partai-partai lainnya untuk tidak bergabung dengan pemerintahan Hamas, atau mereka akan menerima pembatasan dan penghentian bantuan. (ln/iol)