Menteri Keuangan Norwegia, Kristin Halvorsen menyatakan dukungannya untuk memboikot produk-produk Israel sebagai bentuk solidaritas pada rakyat Palestina. "Saya tidak membeli produk-produk Israel sejak lama. Dan pada dasarnya saya mendukung kelompok-kelompok yang berkampanye untuk memboikot produk-produk dan jasa dari Israel," ujar Halvorsen pada harian Dagbladet.
Halvorsen adalah anggota Partai Sosialis Kiri, yang baru-baru ini bergabung dengan koalisi dua partai kiri lainnya di Norwegia. Sejak setahun lalu, Partai Halvorsen bersama-sama dengan sejumlah organisasi lainnya melakukan kampanye pro Palestina dan menyerukan ‘Boikot Israel’. Kampanye ini digelar sebagai respon atas kebijakan Israel terhadap bangsa Palestina yang dianggap sudah melanggar hak asasi manusia.
Atas kampanye tersebut, Desember kemarin, organisasi internasional Yahudi, Wiesenthal Centre memprotes keputusan Soer-Troendelag, wilayah di sebelah barat Norwegia untuk ikut dalam aksi boikot tersebut.
Menteri Luar Negeri Norwegia, Jonas Gahr Stoere, dari Partai Buruh pada radio NRK menegaskan, bahwa kampanye boikot produk-produk Israel itu bukanlah kebijakan resmi pemerintahnya, bahkan pemerintah tidak pernah terpikir untuk menerapkan kebijakan pemboikotan produk-produk Israel.
Namun Halvorsen menyatakan, pemerintah Norwegia ‘harus menerima adanya perbedaan pandangan di kalangan partai-partai politik dalam langkah-langkah yang harus diambil terhadap Israel.’
"Kami ingin melakukan cara-cara yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya dalam pemerintahan," ujar Halvorsen.
Selama ini sudah ada beberapa kelompok masyarakat dan agama yang menyatakan memboikot produk-produk Israel sebagai dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina. Kelompok Gereja Presbiterian AS mengancam akan mencabut investasinya di lima perusahaan raksasa AS karena diduga perusahaan-perusahaan itu mendukung dan memberikan bantuan atas penjajahan Israel di Palestina.
Harian New York Times terbitan 5 Agustus lalu melaporkan, gereja Episkopal AS dan Persatuan Gereja Kristus juga sedang mempertimbangkan untuk mencabut investasinya sebagai upaya menggoyang kebijakan Israel.
Hal serupa juga dilakukan oleh World Council of Churches, organisasi non gereja Katolik. Pada Februari 2005, organisasi ini menyerukan seluruh anggotanya untuk menarik semua investasinya di perusahaan-perusahaan yang mengambil keuntungan dari penindasan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Pada Oktober 2002, 18 dari 22 anggota Liga Arab dalam pertemuannya menegaskan akan ‘mengaktifkan’ kembali larangan hubungan dagang dengan Israel yang sudah berlangsung selama hampir setengah abad. Negara-negara Arab bukan hanya memboikot perusahaan-perusahaan Israel, tapi juga memboikot perusahaan-perusahaan negara-negara lain yang melakukan hubungan bisnis dengan Israel.
Namun, aksi boikot itu sedikit demi sedikit diperlonggar setelah proses perdamaian di Timur Tengah pada 1991. AS, sekutu utama Israel menekan negara-negara Arab untuk mencabut kebijakan boikotnya, termasuk pada negara Arab Saudi ketika negara itu akan masuk ke WTO.
Pada 11 Oktober lalu, parlemen Bahrain menolak keputusan pemerintah yang akan mencabut larangan masuknya produk-produk Israel sebagai bagian dari perjanjian kerjasama dengan AS. (ln/iol)