Menembus Kawat Berduri

“Baru ada kabar, orang yang menjemput kalian kecelakaan..” ungkap Uday sambil menutup telpon. Alhamdulillah, Android donasi HASI itu tak pernah berhenti berdering untuk urusan yang sangat menyibukkan. “Ya Salaam,.. bagaimana kondisinya…?” tanya para relawan. “Belum diketahui perkembangannya tapi ia sedang dibawa ke klinik lapangan. Saya sudah meminta ada kurir lain yang akan menjemput kalian.” Urai Uday. Di kemudian hari kami diberitau bahwa sang penjemput mengalami patah tulang serius di paha kirinya akibat tabrakan. Kami menunggu dalam dingin yang tak ada di Indonesia. Pemanas di posko relawan itu seperti tak banyak memberi efek meski ia sangat membantu. Beberapa cawan syahi menghampiri sebelum batthos dajjaj bisa dihidangkan. Petang itu, Mustofa kembali memasakkan nasi buat kami. Ia seakan faham bahwa tak semua dari kami memiliki lidah yang bebas roaming. “Ana Mustofa, tobbah maahir…(saya Mustofa cheef profesional),” ujarnya petang kemaren. Aksennya saat mengenalkan diri mengundang gelak tawa. Kemaren ia telah membuktikan kemahirannya memasak nasi dengan daging ayam yang yummi. Yang tak biasa bagi kami adalah menghidangkan ayam itu dengan yoghurt. Petang ini, kami kembali disuguhi kebolehannya. “Bagaimana mungkin kamu bisa masak seenak ini?” tanyaku. “Saya pernah hidup di Dammam dan banyak memiliki kawan asal Indonesia.” jawabnya. Dari kawannya saya mengerti bahwa Mustofa yang asal Latakia, adalah ‘korban Nusairiy jauh sebelum revolusi terjadi. Ia pernah kuliah di Fakultas kedokteran selama tiga tahun tapi sebab Sunni ia mengalami diskriminasi. Mahasiswa pintar itu akhirnya tidak diluluskan. Ia kemudian mengadu nasib menjadi tenaga kerja di Saudi Arabia. Tiba-tiba datang sesorang yang agak berumur. “Kenalkan, beliau adalah komandan katibah liwa’ fathul mubin.” Kata Uday. Katibah, ternyata adalah nama regu-regu kelompok oposisi yang jumlahnya sangat bejibun.
“Kita ambil obat-obatan yang kita pesan di apotik …” seru Uday usai makan. Uday ternyata meminjam mobil tamunya untuk mengambil belanjaan kami. Spot jantung saat disopiri orang arab bukanlah hal baru bagi kami. Mobil melaju kencang dalam kelok dan keramaian. “Apotik sudah jam tutup tapi mereka menunggu kedatangan kita..” kata Uday memberi alasan tanpa diminta. Delapan karton usai dipacking. seperti kata Uday, pemilik apotik sangat dermawan. Kami hanya belanja sekitar 6.000 Lira Turki (30 juta rupiah) tapi pemilik apotik juga menyumbang sekarton obat-obatan. Kata dokter Abu Saad, “Ini obat mahal-mahal dan bagus bagus..” Pemilik apotik masih memberi diskon hampir 500 Lira. Kami segera meluncur ke posko untuk siap-siap masuk ke Suriah. Jam 08 malam tanggal 29 Januari. Sangat banyak barang yang harus dibawa ke Suriah selain tas tas kami yang besar-besar. Van berwarna putih telah disiapkan sehabis Isya. Seperti dijelaskan oleh relawan-relawan sebelumnya, perjalanan masuk Suriah lebih sering dilakukan malam hari. “Agaknya mobil ini akan masuk sampai Suriah…” ujar relawan HASI percaya diri. Mungkin sebab barang bawaan begitu banyak yang tak terbayang akan bisa dipanggul oleh kami. Kami meluncur bersebelas. Uday tak berhenti menelpon berkoordinasi. Sepupunya yang mengenalkan sebagai ‘pembicara resmi’, memecah kebisuan para penumpang dengan berlagak protes. “Ana natiq rosmi (juru bicara resmi) tapi pembicaraan Uday yang kuasai. Dari tadi ia tak berhenti menelpon.” Hahaha.. kami tertawa bersama setiap mendengar istilah ‘natiq rasmi’. Sepanjang perjalanan ia akhirnya dipanggil natiq rasmi. Para kurir ini ternyata orang-orang yang memiliki selera humor tinggi.
Lima belas menit berlalu. Tiba-tiba kurir berkata, “Ini perkampungan Nusairyi”. Ya, seperti kami pelajari dalam buku-buku sebelumnya bahwa Nusairiy di Turki cukup banyak jumlahnya. Abu Mus’ab, penulis legendaris asal Suriah pernah menyebut angka dua juta jumlah Nusairi yang tinggal di perbatasan. Jumlah itu setara dengan jumlah Nusairi yang ada di Suriah sendiri. Kampung ini bernama Liwa Iskandarun. Dulu ia masuk wilayah Suriah tapi oleh Penjajah Prancis dihadiahkan ke Turki. Setidaknya itulah penjelasan yang kudapat dari kurir saat itu.
Malam itu bulan sangat terang, memberi penerangan di perkampungan sepanjang lereng-lereng perbukitan. Kami memasuki jalan yang berkelok-kelok dan seperti bukan jalan utama. Sunyi.., hanya enjin van kami yang memecah keheningan. Sesekali berpapasan dengan mobil lain dengan kecepatan yang tak seharusnya. Kami mulai menyadari bahwa malam ini bukan jalur border yang akan ditempuh. Kurir berkata, “akhir-akhir ini ‘cuaca’ kurang bagus. Kita harus melewati jalur alternatif.” Mobil berhenti, menaikkan sekarung gandum. Seorang pemuda krempeng naik memberi salam ramah. Ia turut mengantar melalui jalan berkelok naik turun seperti di Tawangmangu. Bedanya, jalan-jalan itu sempit dan seperti tak beraspal. Mungkin sebab ini bukan jalur biasa. Mobil behenti kembali. Anak muda itu turun digantikan seorang syaikh berumur dengan surban di kepala. Syaikh Mahmud namanya; kepala Hai’ah Syariah alumnus Universitas Al-Azhar. Ia sempat menempuh Magister di Beirut juga Demaskus. Tampak beliau sangat dihormati di perbukitan itu. Ia menaiki van yang kami tumpangi menyusuri lereng dan bukit. Van berhenti di sebuah titik yang berhubungan dengan jalan setapak. Jam menunjukkan arah 09.30 malam. Kami segera menurunkan barang-barang sambil menahan gigilan tubuh yang menggila. Kami baru sadar, barang-barang bawaan melebihi jumlah manusia yang ada. Tapi para kurir seperti sudah biasa melakukan kegiatan ini. Tanpa dikomando, mereka segera menata kardus dalam plastik-plastik besar dengan gerak yang cepat dan cekatan. Satu plastik besar disisi dua hingga tiga karton. Ada yang ringan tapi banyak yang berat. Kami baru sadar, banyak obat jenis botol yang kami bawa.
Syaikh Mahmud Ar Ro’iy yang menyambut Tim Relawan HASI di Jabal Akrod
Jam 10.00 malam. Bismillah Tawakkaltu ‘Alallah… dengan mengenakan senter di kepala, kami mulai menuruni bukit. Malam itu, Allah mengirimkan terang bulan yang sempurna. Arak-arakan mendung yang sesekali menutup cahaya bulan, menambah indah langit malam itu. Tak ada saling menunjuk untuk membawa beban sebanyak itu. Masing-masing seperti ingin mengambil beban melebihi kapasitasnya. Suasana ukhuwah sangat erat terasa; kontras dengan sifat orang arab yang banyak dikenal di Indonesia yang egois. Syaikh Mahmud yang paling tua mengambil beban yang sangat berat. Ia memanggul kartun obat dengan tetap bergamis dan bersurban. Hawa pegununungan yang begitu dingin mulai kurang terasa dilawan uap hangat dari dalam tubuh tanpa peluh. Kami mulai membuka sarung-sarung tangan kami, sebab jemari harus memanggul kartun-kartun obat. Selain menghangatkan, sarung tangan bisa mengurangi refleks dan kepekaan. Lumpur-lumpur kadang menahan laju kaki sebab hujan yang belum lama turun. Hatay memang selalu hujan akhir akhir ini. Sesekali kita harus berhenti mengatur nafas yang terengah-engah. Gemercik air yang terdengar disana-sini menjadi hiburan yang sangat mengasyikkan. Subahanallah, sungguh sebuah piknik yang sangat mahal…! “Mas, Wahid tertinggal di belakang..” kata Abu Ammar, paramedis HASI. Kami berhenti menunggu. Saya belum mengenal banyak kurir yang satu ini. Di Posko, ia tidak banyak bicara; hanya senyum dan tidur. Sesekali terlihat tato di tangan kanannya. Ia paling hansem dan jika diadu dengan 10 pemuda Indonesia agaknya tak terkalahkan. Posturnya lebih kecil dibanding kawan-kawannya. “Ayyu khidmah akhii…” tanya kami sambil berusaha membantu bawaannya. “La..la..” jawabnya sambil mengatur nafas.
Melihat Abu Ammar terseok-seok dengan satu tas besar dan satu tas tanggung, ia justru mengambil tas tanggung. Keinginan kami untuk meringankan bawaannya justru dibalas dengan mengambil tas Abu Ammar. Wahid tertinggal lagi. Ia betul-betul kesulitan membawa tiga kartun botol berisi obat-obatan ditambah satu tas kami. Disitu saya mengusulkan untuk berbagi karton. Ia setuju tapi dua karton susah untuk dipisahkan. Saya membawa satu karton dan ia membawa dua karton yang sangat berat. Saat saya bantu menaikkan ke punggungnya, barang itu memang sangat berat. “Imsyi… imsyi….” Katanya memerintah kami. Meski demikian, kami selalu berada pada sebuah jarak, sebab ia termasuk yang tidak membawa senter. Kami berhenti bersama saat kelelahan. Satu jam berlalu dan dentuman meriam memecah suasana malam tiada henti. Kami tak diperkenankan lagi menyalakan senter. Hanya cahaya bulan yang menemani kami waktu itu. “Apakah itu birmil (bom tong),..” tanyaku. Wahid menjawab, “Birmil di siang hari, meriam di malam hari.” Pikiran kami melayang…. “Rabbi, adakah korban dari dentuman yang tiada henti itu…?” Lama-kelamaan, kami mulai terbiasa mendengar gelegar gelegar suara itu. Kami rehat bersama di pinggir aliran sungai. Kamal, kawan Uday memberi arahan. “Sebentar lagi kita akan masuk area penjagaan polisi Turki. Berjalanlah tanpa suara dan cahaya.” Mata saya mencari cari dimana kiranya para polisi itu. Sebab yang hanya pinus dan gemercik air.
Tiba-tiba saya ingat film-film mafia narkoba yang memiliki tower-tower penjagaan di kebun ganja. “Apakah polisi nanti diatas ketinggian dengan lampu besar yang berputar?” tanyaku. “Ya” jawab seorang kurir. “Semoga mereka tak membaca pergerakan kita, dan semoga jika terbaca sekalipun mereka diam tak mempersoalkan.” Baru lima menit berlalu, kami dikejutkan suara seperti sirine. Lama-lama ia menjadi lolongan. Tiba-tiba, lolongan itu bersahut-sahutan meramaikan kesunyian hutan malam itu. “Suara apa itu?” tanya Muhandis HASI. “Itu suara Srigala” jawabku. Ya Rabb… lindungi kami… Agaknya srigala-srigala hutan itu mencium aroma tubuh kami yang tak mandi. Muncul rasa khawatir suara itu menjadi alarm bagi para polisi. Kami tetap berjalan dalam keheningan dan dzikir. Hasbunallah wani’mal wakiil… Srigala-srigala itu akhirnya berhenti melolong. Kami istirahat semua, duduk di sebuah titik sambil memandangi cahaya pos polisi yang bertengger di puncak bukit. “Tartahuun…. (sudah cukup istirahat)?” tanya Syaikh Mahmud. “Alhamdulillah…” kami menjawab.
Tiba-tiba rute diubah tak mengikuti jalan utama di hutan itu. Kami berbelok kanan menjauhi arah pos polisi memasuki jalan setapak. Tekadang ranting pohon mengenai tas-tas kami. Jalan menjadi gelap sebab cahaya purnama itu terhalang ranting dan dedaunan. Dua kali Abu Zufar terjatuh sebab jelan becek dan licin. Dan Wahid tetap terengah-engah membawa beban seberat itu. Kami ingin membantu tapi tak mampu. Kaki-kami mulai gemetar sebab tak ada nutrisi sepanjang perjalanan. Bahu-bahu yang jarang olahraga seolah protes atas beban yang berlebih. Dalam sunyi, kami dikejutkan suara Uday di depan sana.. Ia seperti bernegoisasi dengan kalimat yang diulang-ulang…”Tolong… tolong kami… please! please!..” Berdegub jantung sebab feeling saya berbicara ada sergapan polisi Turki di depan. Pandangan kami tentu tak mampu melihat dalam kegelapan itu. Saya segera mencari tau apa yang terjadi. Ternyata, Uday tak terima sebab bawaannya yang berat direbut ikhwan lain untuk dibawakan. Dan dia memaksa agar bawaannya dikembalikan. Subhanallah, indah sekali suasana malam itu. Dan Wahid terengah-engah tanpa mengeluh. “Hakadzal jihad… hakadzal jihad….” Ungkapnya sambil terengah-engah saat saya berhenti menungguinya.
Rasa hormat saya muncul seketika terhadap pemuda bertato yang pendiam itu. Kini kami disuguhi sebuah pengabdian yang tulus. Sebuah materi aqidah yang jarang didapat di Universitas. Sejenis kuliah dari seorang ‘dosen’ lapangan yang tak banyak bicara. Sepanjang perjalanan, saya selalu mengiringinya. Di kemudian hari kawannya bercerita kenapa ia dipanggil Wahid. Sebab ia ‘sebatangkara’ karena hidup bersama neneknya sejak umur tujuh tahun di Demaskus. Bapak-Ibunya di London entah untuk urusan apa. Selama revolusi, ia pernah dijenguk ibunya selama lima hari. Sebelumnya ia bersama Tentara Basyar dalam wajib militer. Di tengah jalan, ia melarikan diri dan bergabung besama pejuang. Jika mencari dunia, tentu akan lebih sederhana mengikuti orang tuanya di London. “Nyalakan senter…” perintah Uday. Agaknya posisi kami lebih aman sebab mulai mendekat ke Wilayah Suriah. Di sebuah lokasi yang lapang, diterangi cahaya purnama, kami duduk beristirahat. Uday, memberi penjelasan kembali. “Perjalanan kita sudah dekat. Dua ratus meter kedepan, adalah kawat batas Turki-Suriah. Enam ratus meter kemudian, kawan-kawan kita sudah menunggu.” Dua jam sudah kita berada di hutan itu. Kami keluar hutan melawati jalan luas.
Muhandis HASI menunjukkan bekas-bekas tank melewati jalan itu. Kami kembali masuk jalan setapak. Seperti disampaikan Uday, duaratus meter kemudian kami menjumpai kawat-kawat yang melingkar. Di jalan setapak itu, kawat-kawat berduri telah dirobohkan. Bismillah… sepatu boad kami tak tembus oleh kawat berduri itu. “Allahu Akbar… Allahu Akbar… Ahlan wasahlan fie bilasdisy syam…” seru kawan-kawan bergembira. “Tolong beri saya cahaya…! ” seru Wahid di belakang. Saya baru ingat, Wahid tak memiliki senter sementara jalan sangat curam melawati sungai kecil.
Enam ratus meter kemudian, terlihat truk dan satu van di atas sana. Terdengar suara keras dari kejauhan…”Ahlan wasahlan fie Ardhisy Syam…” Beberapa pemuda datang membantu mengangkat tas-tas kami. Klasinkov selalu menemani mereka. Truk untuk mengangkut barang sementara van untuk mengangkut penumpang. Sepuluh menit setelah perjalanan van berhenti. “Hadza Masyfa… (ini rumah sakit) ” kata kurir. Kami tak diperkenankan turun. Di perbatasan, ternyata ada juga rumah sakit lapangan. Disinilah kawan penjemput kita yang petang kemaren dikabarkan kecelakaan menjalani operasi kaki. Sekarang, Ia belum begitu sadar dari pengaruh obat bius. Klinik yang akan kita tempati ternyata bukan disini. “Bagaimana menurut kalian perjalanan ini, penat..?” Tanya mereka kepada kami. “Alhamdulillah, kalian telah memberi tasliyah yang tak terlupakan sepanjang hidup kami. Rasa bahagia hati kami membuat kepenatan tiada terasa, barokallah fiekum..” jawab saya. “Apakah sudah kamu rekam perjalanan ini?” tanya Syaikh Mahmud. “Sudah, fie dhihni…(sudah, di memori otak)” jawabku. 00.15 dini hari. Van melaju kencang dalam cahaya bulan.
Gelegar suara meriam menjadi kawan sepanjang perjalanan. Oleh sebab kepenatan dan rasa lapar, kami tertidor dalam perjalanan. Empat puluh menit kemudian kami diminta turun. “Washolna…” Kita telah sampai di masyfa maidany. Tubuh kami kembali menggigil sebab duduk tak bergerak. Suasana perang terlihat dari rakyat yang memanggul senjata. Segera kami dibawa ke basement dan disuruh duduk di depan pemanas. Malam itu jenset dihidupkan hingga larut malam. Suasana ramah dan akrab sangat terasa. Kami sudah disiapkan makan jelang subuh ala Arab. Khubuz (roti kering) dicocol sarden, halawa, dan buah tin. Syahi panas yang sedap turut menghangatkan tubuh kami. Beruntunglah para relawan yang memili lidah bebas roaming. Dua jam lagi Subuh akan datang tapi rasa kantuk tak bisa ditahan. Kami tidur dan bagun kembali di Subuh hari. Esok tugas berat menunggu.
Jabal Akrod, 30 Januari 2013 Abu Zahra, Tim Kelima Relawan HASI untuk Suriah