Menang Pemilu, Mahathir Akan Evaluasi Investasi RRChina di Malaysia

Eramuslim.com – Pemilihan umum Malaysia ke-14 (Pilihan Raya Umum ke-14, disingkat PRU14) telah diselenggarakan pada hari Rabu 9 Mei 2018 kemarin.

Untuk pertamakali dalam sejarah, kejutan terjadi saat oposisi Malaysia yang tergabung dalam Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohammad memenangkan pemilu.

Penghitungan suara sementara akhirnya mengumumkan Pakatan Harapan memperoleh kursi mayoritas dengan 122 kursi dari 222 kursi di parlemen atau 56% (sudah melebihi syarat minimal 112 kursi untuk membentuk pemerintahan). Sementara partai berkuasa BN hanya memperoleh 79 kursi, dan PAS (Partai Islam Malaysia pimpinan Abdul Hadi Awang) 18 kursi.

Dengan kemenangan Pakatan Harapan ini Mahathir Mohammad (92 tahun) akan kembali menjadi Perdana Menteri.

Jika Menang Pemilu, Mahathir Akan Evaluasi Investasi China di Malaysia

Para investor asal China yang menanamkan modal di Malaysia kemungkinan akan menghadapi masalah jika Mahathir Mohamad memenangkan pemilu.

Mahathir, mantan perdana menteri itu kini menjadi kandidat perdana menteri dari kubu oposisi. Dalam sebuah wawancara dia memaparkan pandangannya soal investasi China.

Mahathir mengatakan, Malaysia menyambut baik investasi dari China selama perusahaan negeri itu mempekerjakan warga lokal, membawa modal, dan teknologi ke Malaysia.

Namun, ujar politisi gaek berusia 92 tahun itu, dia tak melihat semua hal tersebut dilakukan para pengusaha China yang berinvestasi di Malaysia.

“Kami tak mendapatkan apapun dari investasi. Kami tak menyukai itu,” kata Mahathir di kantornya di Kuala Lumpur, Senin (9/4/2018).

Komentar Mahathir ini merefleksikan keprihatinan meluas atas investasi China di berbagai negara Asia mulai dari Australia hingga Sri Lanka.

Banyak negara berusaha mendapatkan keuntungan dari rencana China membangun infrastruktur bernilai ratusan miliar dolar.

Namun, di sisi lain banyak negara juga khawatir akan menjadi terlalu tergantung terhadap China.

Di Malaysia, investasi China memicu kekhawatiran terkait kesetaraan dan kedaulatan perekonomian negeri itu.