eramuslim.com – Warga Palestina di Jalur Gaza terpaksa mencukur rambut mereka demi menghindari penyakit karena mereka tidak mampu mandi lantaran tidak ada air. Salah satu dari mereka adalah Nisreen, seorang ibu enam orang anak.
Nisreen terpaksa meninggalkan rumahnya di Khan Younis pada tanggal 13 Desember lalu, ketika invasi darat “Israel” ke kota tersebut semakin intensif.
Sejak saat itu ia mengungsi ke sekolah PBB terdekat, dan kemudian ke tenda darurat, dengan sedikit akses untuk mendapatkan air minum dan air bersih.
“Saya harus menggunduli kepala saya, karena tidak ada air untuk mencuci rambut,” kata wanita berusia 49 tahun itu kepada Middle East Eye dari tenda pengungsiannya di daerah al-Mawasi (06/02).
“Saya juga melakukan hal yang sama pada anak perempuan saya yang berusia 16 tahun dan anak laki-laki saya yang berusia 12 tahun, untuk melindungi mereka dari penyakit kulit kepala karena teman-teman mereka terkena kurap,” tambahnya.
“Mencukur rambut adalah keputusan yang menyakitkan bagi perempuan mana pun, tapi kami terpaksa melakukannya.”
Serangan pemboman keji “Israel” di Gaza, yang kini memasuki bulan kelima, telah menewaskan sedikitnya 27.500 orang dan membuat lebih dari 1,9 juta warga Palestina mengungsi, yang secara kolektif tidak memiliki akses terhadap air bersih dan fasilitas kebersihan yang penting.
Bahkan sebelum perang, lebih dari 96 persen pasokan air di Gaza telah dianggap “tidak layak untuk dikonsumsi manusia”, karena blokade Israel di Gaza sejak 2007.
Namun situasi ini semakin memburuk setelah keputusan penjajah “Israel” untuk memutus pasokan air ke Jalur Gaza pada tanggal 9 Oktober lalu.
Selain itu, “Israel” juga menyita sebagian besar pabrik desalinasi air di bagian utara Gaza pada tanggal 30 Oktober, dan di bagian selatan Kota Gaza pada tanggal 1 November, menurut citra satelit dari Planet Labs PBC.
“Kami tidak memiliki air yang mengalir yang sangat penting untuk membersihkan diri, mandi, dan mencuci pakaian,” kata Nisreen.
“Saya biasa menghabiskan waktu tiga atau empat jam dalam antrean, menunggu untuk mengisi galon air dari sumur di rumah tetangga kami untuk digunakan sebagai air bersih,” katanya kepada MEE, menggambarkan kehidupannya sebelum perang.
Di sekolah PBB Sheikh Jaber, tempat ia berlindung sebelum pindah ke tenda saat ini, situasinya sangat mengerikan.
“Kami mengantri berjam-jam untuk menggunakan toilet,” katanya. “Tapi kami tidak punya cukup air untuk mandi dan tidak ada sampo.”
Namun Nisreen terpaksa meninggalkan sekolah setelah tank-tank “Israel” mendekati daerah itu dan menjatuhkan selebaran agar para pengungsi meninggalkan sekolah.
Sekarang, ketika dia mendapatkan air, Nisreen mengatakan bahwa dia menggunakannya untuk memasak atau minum.
“Minum dan bertahan hidup tentu saja merupakan prioritas yang lebih tinggi daripada mencuci rambut,” tambahnya.
Sementara itu, satu-satunya air yang tersedia untuk mencuci dan mandi adalah air laut, jelasnya.