“Penduduk Turki serta dunia memperhatikan pola bagaimana Erdogan telah mengambil alih institusi negara Turki untuk membangun kendali otoriternya. Diyanet serta Dewan Negara adalah dua lembaga besar yang telah bertindak sebagai boneka Erdogan untuk membantunya memenuhi ambisinya,” ujarnya.
Contoh lainnya adalah ketika pemerintahan Erdogan melarang perayaan Hari Kemenangan yang jatuh pada 30 Agustus karena alasan pandemik Covid-19.
Padahal, Hari Kemenangan adalah salah satu hari terpenting ketika Turki menang dalam Pertempuran Dumlupinar dari Yunani pada 1922 dan Ataturk memberikan pidato bersejarahnya.
“Kritikus dan partai oposisi mengutuk Erdogan dengan alasan Covid-19, perayaan Hari Kemenangan telah ditinggalkan, namun masjid Aya Sofya dibuka untuk shalat. Juga, hari-hari penting lainnya masih dirayakan, termasuk peringatan Pertempuran Manzikert dan upaya kudeta 15 Juli,” sambungnya.
Upaya Erdogan untuk “menghapus” sejarah Kemal Ataturk adalah dengan memindahkan gerbong kereta putih yang sering digunakannya dari pajangan di depan terminal kereta Izmir pada 21 Agustus.
Walaupun banyak masyarakat sipil yang menolak pemindahan tersebut, Erdogan tidak mengembalikannya.
Kendati begitu, upaya-upaya Erdogan tersebut mendapatkan banyak kecaman, kritik, dan protes dari oposisi dan masyarakat Turki.
Partai politik seperti Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai Baik (IVI) telah membalas Erdogan dengan cara yang pedas karena melarang perayaan Hari Kemenangan dan merusak citra Ataturk.
Demikian pula, Ataturkcu Dusunce Dernegi, sebuah asosiasi yang menangani pemikiran Ataturkist, telah mengajukan petisi ke pengadilan terhadap keputusan pelarangan perayaan 30 Agustus.
Asosiasi tersebut juga berkampanye menentang penghapusan gerbong kereta putih Ataturk dari terminal kereta lzmir. Lebih lanjut, sebuah kelompok hukum terkemuka, Adana Bar Association telah mengajukan gugatan pidana terhadap kepala Diyanet Ali Erbas berdasarkan undang-undang “Hukum Mengenai Kejahatan yang Dilakukan terhadap Ataturk” atas komentarnya terhadap Ataturk tentang mengubah Aya Sofya menjadi museum.
“Namun, perlawanan yang kuat dari partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil merupakan indikasi bahwa jalan tidak akan mudah bagi Erdogan karena tidak mungkin menghapus Mustafa Kemal Ataturk dari hati nurani masyarakat Turki,” sambung Shukla.
Selama masa pemerintahan Kemal Ataturk, Turki dikenal memiliki kedekatan dengan India. Namun, setelah Erdogan berkuasa hubungan keduanya mulai renggang.
Renggangnya hubungan Turki dan India ditandai ketika Erdogan mendukung Pakistan atas sengketa wilayah Jammu-Kashmir. []