Dua muslimah berjilbab AS mengajukan gugatan hukum terhadap jaringan resto cepat saji McDonald’s, karena disuruh membuka jilbabnya jika mereka ingin bekerja di resto tersebut.
"Saya melamar pekerjaan ke McDonald’s sekitar dua minggu yang lalu, dan manajernya mengatakan pada saya bahwa saya harus memilih, melepaskan jilbab atau saya tidak akan diterima bekerja di McDonald’s, " kata Quiana Pugh, 25 tahun.
Ia mengaku sedih dan perasaannya tak tenang, ketika meninggalkan kantor manajer itu. "Saya bingung, hal seperti ini terjadi di Dearborn, kota yang banyak warga Muslimnya, " ujar Pugh.
Sampai akhirnya ia tahu bahwa ia bukan satu-satunya muslimah berjilbab yang ditolak bekerja di McDonald’s cabang Dearborn, negara bagian Michigan. Muslimah lainnya, bernama Toi Whitfield, 20, dari Detroit juga mengalami nasib serupa di McDonald’s cabang Dearborn pada November 2006.
Kedua muslimah berjilbab itu akhirnya pada hari Kamis kemarin mengajukan gugatan hukum terhadap McDonald’s ke Wayne Counti Circuit Court, dengan delik diskriminasi.
Kebijakan anti-jilbab McDonald’s cabang Dearborn menuai kecaman dari sejumlah praktisi hukum dan warga Muslim AS yang jumlahnya sekitar enam sampai tujuh juta orang. Council on American Islamic Relations (CAIR)-wadah warga Muslim AS-menyebut tindakan manajer McDonald’s sebagai tindakan yang rasis.
"Tindakannya sangat mengganggu karena hal itu terjadi di sebuah tempat yang juga menangguk dollar dari umat Islam, tapi tempat-tempat itu membatasi seorang muslimah mengenakan jilbab, " tukas Direktur Eksekutif CAIR Michigan, Dawud Walid.
Namun seorang juru bicara McDonald’s mengatakan bahwa perusahaan yang mengelola McDonald’s Dearborn menerapkan kebijakan yang ketat, yang melarang segala bentuk diskriminasi.
Sementara itu Whitfield mengatakan, gugatan hukum yang dilakukannya terhadap McDonald’s bertujuan untuk melindungi muslimah berjilbab lainnya. Saya pikir mereka (McDonald’s) belajar dari kesalahan mereka, " tandas Whitfield. (ln/iol)