Meski dikenal sebagi negara sekuler, mayoritas masyarakat Turki menentang larangan resmi berjilbab di kantor-kantor dan universitas. Hal ini terungkap dari hasil polling yang dilakukan Universitas Isik dan Sabanci di Istanbul yang dirilis pada Rabu (14/6).
Sebanyak 2/3 dari 1.846 responden dari 20 kota besar dan kecil yang disurvei, menyatakan mendukung upaya PM Turki, Recep Tayyib Erdogan untuk meredam larangan berjilbab terhadap mahasiswa dan pegawai negeri.
Larangan berjilbab di negara berpenduduk 72 juta jiwa dan mayoritas Muslim ini diberlakukan pada tahun 1997. Saat itu, Presiden Ahmad Necdet Sezer mengeluarkan dekrit yang melarang jilbab di institusi-institusi pemerintahan, termasuk sekolah dan universitas.
Wanita berhijab juga dilarang aktif dalam organisasi-organisasi sosial yang berafiliasi dengan institusi kemiliteran. Bahkan wartawati berjilbab, kerap tidak dipekenankan meliput konferensi pers di institusi-institusi pemerintah.
Kalangan militer, akademisi dan pakar hukum banyak yang berpendapat bahwa larangan berjilbab merupakan pilar utama dari sistem sekular yang dianut Turki.
Namun dari hasil polling yang dilakukan sepanjang Maret sampai April itu menunjukkan, masih banyak rakyat Turki yang konservatif dan peduli dengan isu-isu moral, khususnya larangan berjilbab.
Hasil polling juga menunjukkan, sebagian responden meyakini bahwa kegagalan hidup disebabkan karena kurangnya keimanan. Hampir sepertiga responden mengatakan, anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan di kelas yang berbeda ketika belajar di sekolah. Mereka juga menentang jika anak perempuan mereka menikah dengan laki-laki non Muslim.
Hasil lainnya menunjukkan, hampir setengah dari responden menuding para turis yang datang ke Turki telah memberi pengaruh pada masalah moralitas dan budaya Turki. Para responden mengaku tidak nyaman melihat pemandangan para turis yang telanjang atau setengah telanjang ketika berjemur di pantai-pantai di lokasi wisata.
Lebih dari setengah responden mengaku puas dengan kinerja pemerintahan sekarang yang dikuasi oleh Partai Keadilan dan Pembangunan. Hanya sepertiga responden yang mengaku tidak puas dengan proses demokrasi di negerinya. 40% responden menyatakan lebih senang seorang pemimpin pemerintahan dari kalangan militer.
Angkatan Bersenjata merupakan institusi yang paling dihormati oleh rakyat Turki. Sepanjang 50 tahun sejarah Turki, militer tercatat berhasil menurunkan pemerintahan terpilih secara demokratis, namun kekuasaan militer di Turki dibatasi oleh reformasi yang didukung Uni Eropa.
Lebih lanjut hasil polling menunjukkan menurunnya dukungan masyarakat terhadap keinginan Turki bergabung dengan Uni Eropa, dari 74% beberapa tahun yang lalu menjadi 57%.
Sejak tahun 1960 sampai sekarang, negara yang akan menggelar pemilu pada November 2007 mendatang ini, berjuang untuk bisa menjadi anggota Uni Eropa. (ln/iol)