Dahulu… saat seorang Syaikh Suriah menceritakan kekejaman Basyar Asad, dalam hati kami bertanya-tanya, ‘Apakah cerita-cerita itu benar; apakah berita itu dilebih-lebihkan; apakah ada di abad ini jenis manusia yang memiliki perangai sekejam itu; bukankah itu jenis perilaku kaum Barbar yang hanya ada dalam sejarah masa lalu; apakah mungkin klinik atau rumah sakit juga menjadi target pengeboman?’ Terutama pertanyaan terakhir, hal itu sangat mengganggu. Sejahat-jahat rezim, ia tak akan membunuh ‘musuh’ yang sedang sakit atau terluka.
Pagi ini kami keluar basement. Disebut basement sebab terletak di lantai bawah dalam bangunan. Gedung-gedung disini umumnya berlantai lima. Berbentuk kubus dan sekilas tak tampak indah seperti rumah-rumah di negeri Katulistiwa. Ini adalah kali pertama kami keluar sejak kedatangan kami dalam malam yang gelap. Kaki ini baru berdiri di depan gedung dalam gigilan yang dahsyat, tetapi pemandangan sungguh memilukan. Gedung-gedung kokoh itu kini runtuh berkeping-keping. Serakan pecahan kaca terlihat dimana-mana. Pohon tin dan zaitun kebanggan bangsa Syam tak lagi terurus. Tak ada lalu lalang manusia layaknya dalam kota. Hanya sunyi dan hening dan dingin. Sesekali melintas mobil atau motor dalam kecepatan sangat tinggi entah sebab dikejar apa atau siapa. Salma, kota wisata di Latakia yang dulu sangat indah tak menampakkan keceriaannya. Ia menangis dan berduka.
Kepalaku menoleh ke kanan memperhatikan baik-baik gedung di samping masyfa. Ada lubang besar menganga di atas sana. “Ya syabab.. kenapa dengan atap gedung itu..?” tanyaku mencari kepastian. “Itu sebab terkena meriam..” jawab mereka. Otak baru mencerna jawabnya tapi seseorang telah aktif mengarahkan telunjukknya. “Lihatlah gedung itu.. yang disana.. yang disana..!” Ya Rabbi, ternyata lubang-lubang bekas canon dan bazoka tak hanya satu. Ia hampir menjadi identitas dalam setiap gedung yang banyak lagi padat. Kami melangkahkan kaki sepuluh meter ke arah kiri gedung. Ada kasur busa berukuran tanggung dengan darah yang sudah mengering. Selongsong peluru meriam tergeletak disana. Saya tak mengerti kalibernya sebab senjata bukanlah bidang saya.
“Inilah masyfa dulu..” jelas Uday, kurir yang selalu setia dengan Klasinkov di tangan. Ya Robbi, cerita yang kudengar tentang Suriah ternyata bukanlah cerita imajiner. “Masyfa ini dijatuhi birmil…” Jelas Uday dan kawan-kawannya. Birmil adalah jenis bom rakitan yang banyak digunakan oleh Tentara Basyar akhir-akhir ini; terbuat dari drum berisi TNT, pecahan-pecahan paku dan besi. Benda maut itu dihantar dengan helikopter. Gedung yang dijatuhi sudah pasti akan hancur berkeping-keping. Sementara pecahan-pecahan besinya akan melayang ke seluruh penjuru mengenai orang yang kebetulan lewat. Sudah banyak korban birmil yang semoga Allah menerima sebagai syuhada’.
“Lihatlah reruntuhan itu, disanalah kawan-kawan Hilal Ahmar angkatan ke-2 berada saat itu..” kata Uday. Subhanallah, sungguh menakjubkan. Saat birmil itu dijatuhkan saya memang dikabari di Indonesia. Tapi tidak terbayang sama sekali bahwa kawan-kawan relawan saat itu ada di lantai empat tepat disamping reruntuhan. Alhamdulillah, hanya akhi Jumanto yang terluka ringan saat itu. Melihat modus penghancuran yang menggunakan birmil, dan bukan peluncur jarak jauh yang bisa ‘peluru liar’, agaknya memang targetnya adalahmasyfa maydani.
Masyfa Maydani adalah sebutan untuk rumah sakit lapangan. Kawan-kawan jawa kadang memplesetkan menjadi ‘medeni’ yang bermakna ‘menakutkan’. Betapa tidak menakutkan, ruangan-ruangannya laksana rumah hantu; gelap dan kumuh. Hanya jenset 16 KWM yang dihidupkan di malam hari. Sulitnya solar atau bensin membuat semua harga malambung tinggi. Dalam sebulan, biaya solar mencapai 2500 dolar Amrik hanya untuk jenset. Seperti malam ini, kami menulis dalam gelapnya pencahayaan. Kadang listrik menyala dan kadang padam. Beruntung air disini tak menggunakan listrik. Di pegununguan dengan ketinggian 800 M diatas permukaan laut, perairan di Salma dialirkan dengan selang-selang.
Kami memasuki bekas masyfa yang kini runtuh. Bangunan lima lantai ini dulu nampak sangat mewah. Bekas-bekas perabotnya terlihat bagus dan mahal. Birmil yang dijatuhkan sanggup meruntuhkan separuh bangunan bagian depan hingga tiga lantai. “Disana kawan-kawan Hilal Ahmar tinggal..” kata Uday sambil menunjuk ke arah lantai empat. Kamar tempat tinggal para relawan HASI kini terkubur reruntuhan gedung. Kami segera naik ke atas dalam kawalan Uday. “Ihdzar.. Laa-taqtarib..(hati-hati jangan mendekat)” Seru Uday saat kami terlalu bersemangat ke ujung reruntuhan. Berada disitu memang sangat berbahaya sebab bekas-bekas reruntuhan masih menggantung dan melekat. Kami segera menuju ke kamar bekas kawan-kawan HASI.
Dulu kami dapat cerita bahwa Jumanto saat itu tengah tidur di kamar. Saat gedung runtuh, ia terlindung oleh kulkas besar. Kulkas berwarna abu-abu itu masih dalam posisi miring dan penyok. Uday mengais reruntuhan dan sejurus ia menggambil dompet plastik tempat uang dolar. Saya terkejut dan seketika saya berikan dompet itu ke Muhandis; pemilik ide dompet itu. Dalam hati saya berkata, dompet itu telah mendahului tuannya datang kesini. Semoga kelak dompet itu berada di surga. Kami menjadi bersemangat untuk mencari jejak-jejak HASI dalam reruntuhan. Sepatu boad Jumanto bisa kita keluarkan, menyusul kopyah, bendera HASI, jaket dan abon kering. Abon itu masih terbungkus rapi dan belum membusuk kendati telah berumur tiga bulan.
Kami menaiki atap gedung yang tersisa. Besi-besi pecahan birmil terserak dimana-mana. Dari atas kami memandang ke kejauhan. Meski hanya puing puing gedung yang nampak, kecantikan bumi Salma tidaklah bisa disembunyikan. Di depan sana terhampar bukit-bukit yang menghijau. Arak-arakan mendung di pagi itu, membuat suasana menjadi syahdu. Hujan rintik-rintik manambah cuaca dingin menjadi sangat dingin. Sepinya jalan seakan melupakan kita dari beban-beban hidup duniawi. Sempat muncul rasa khawatir jika tida-tiba ada peluru roket yang menuju kemari.
Tiba-tiba Uday berkata sembari meletakkan moncong Kalasinkov ke arah bawah, “Kamu lihat pohon disana..?” “Ya” jawabku. Dalam hitungan saya, jarak pohon dimaksud kurang dari satu KM. “Disanalah para mujahidin berjaga dan dua KM di depannya tank-tank basyar Asad berada.” Jelas uday. Ya Robb, sungguh sebuah jarak yang tidak bisa dikatakan dekat.
Tapi jangan salah sangka bahwa Masyfa Maydani adalah jenis rumah sakit untuk kombatan. Sebab dibalik sepinya jalan dari lalu lalang manusia, banyak pengungsi-pengungsi yang bersembunyi dibawah sisa-sisa gedung. Dr Romi, penanggung jawab masyfa pernah menyebut bahwa di Salma masih ada 20.000 penduduk yang tinggal disana. Itulah sebabnya kenapa di masyfa, klinik sangat ramai melayani penyakit-penyakit harian seperti batuk dan influenza. Masyfa Salma harus melayani masyarakat dalam bentangan wilayah kerja sepanjang 12 KM; dari arah Gunung Nabi Yunus dan Burjul Qosaf.
Dulu Burjul Qosaf adalah tempat peluncuran roket Basyar Asad yang telah dibebaskan oleh Mujahidin. “Kenapa orang-orang itu tidak mengungsi?” tanyaku kepada staf masyfa saat melihat pasien-pasien memasuki klinik. “Sebab jika hendak ke Turki untuk mengungsi, biaya hidup disana mahal dan mereka tidak memiliki pekerjaan. Akhirnya mereka bertawakkal kepada Allah. Mereka makan dan minum seperti yang dimakan dan diminum oleh Mujahidin…” jawab mereka.
Kami menuruni bagian paling bawah dalam gedung itu. Serakan pecahan kaca dan reruntuhan gedung memenuhi lantai. Kami memasuki kamar-kamar yang nampak sangat indah sebelumnya. Keramik keramik dan wallpaper seperti belum lama dipasang. Imajinasi saya melayang bagaimana orang arab menata kamar-kamar tidurnya yang luas ini. Saya berdiri di teras belakang basement dan seakan berada di sebuah balkon yang tinggi. Dari teras belakang kita bisa melihat ‘sungai’ tanpa aliran air. Penghuni sebelumnya seperti biasa melihat pemandangan di teras belakang yang ditutup pohon-pohon anggur. Tiba-tiba Uday mengajak saya memasuki ruang di bagian depan. Ya Robbi, betapa banyak alat-alat medis yang berserakan di ruang ini. Betapa ruang ini dulu sangat berjasa memberikan pengobatan kepada muslim Suriah. Cerita serangan terhadap rumah sakit ternyata bukanlah isapan jempol. Kini gedung itu telah hancur.
Tim Kedua Relawan HASI saat menyelamatkan diri dari reruntuhan Masyfa Maydan setelah dihantam Bom Birmil
Jabal Akrod 31 Januari 2013
Abu Zahra, Tim Relawan Kelima HASI untuk Suriah